Oleh: Agus Mariyanto
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia
dewasa ini mengalami transformasi sosial secara revolusioner yang belum
pernah dialami oleh umat manusia selama ini. Dimana-mana terjadi
perubahan dalam pergaulan hidup manusia dari masyarakat yang statis
tradisional menjadi suatu masyarakat yang terbuka karena pengaruh
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.[1] Hubungan
keluarga menjadi renggang dan bukan tidak mungkin terjadi perang
antargenerasi. Munculnya rasa permisif di masyarakat sehingga untuk
memenangkan perang antar generasi tersebut adalah melalui serangan
budaya.[2]
Transformasi dalam masyarakat tentunya mengubah pula bentuk-bentuk
kekuasaan yang mempengaruhi atau mengatur tingkah laku manusia.
Ketika
Barrack Huseein Obama, dalam usianya ang ke-47 tahun akhirnya
memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat, publik ikut terhenyak.
Bukan hanya karena Obama berkulit hitam dan pernah menjalani masa lkecil
di Menteng Jakarta, serta mempunyai seorang ayah yang berasal dari
Kenya, yang membuat publik terkesima, tetapi lebih karena Obama
sebagaimana dikatakan oleh adiknya, Maya Soetoro, ”adalah sebuah mimpi
yang mustahil di masa lampau”[3] Obama telah mencetak sejarah baru atas sejarah masa depan Amerika Serikat. Ia menang telak atas John McCain, dengan mengumpulkan lebih dari 52 persen popular vote, dan 338 Electoral Votes (364 termasuk North Carolina dan Indiana).[4] Bagaimanapun Obama adalah fenomena. Dan mungkin fenomena politik terbesar pada abad ke-21 ini.
Ketika
Obama menang, ia menjadi pusat perhatian, sebagaimana ketika Soeharto
wafat, Benazir Bhutto terbunuh, atau tatkala Vladimir Putin terpilih
sebagai Man of The Year Majalah Time. Ketika mantan Presiden Soeharto
Wafat, semua stasiun televisi dan media cetak berlomba-lomba
memberitakan. Begitu juga yang terjadi ketika Mantan Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) wafat semua ”berdesak-desakan” untuk
membicarakan dan menyaksikan proses pemakaman serta treck record-nya.
Bahkan, sebagian masyarakat ada yang mengkhultuskan keberadaan Gus Dur.
Muncul kontroversi tentang pemberian gelar pahlawan nasional dan
sebagainya.
Semua
tragedi sejarah dan ketika pengalaman telah menjadi sejarah, bahkan
sejarah yang berulang, masuk akal jika kita dalami dan selami
pelajarannya yang diberikan oleh jatuhnya presiden pertama, kedua, dan
keempat Republik Indonesia. Kita
mengambil pelajaran dari kelebihan dan keberhasilannya dan kita hargai.
Kita mengambil pelajaran dari kegagalan, kealfaan, dan kesalahannya.
Dalam konteks itu, patut kiranya juga dalam sikap kritis, kita berpegang
pada kebijakan mikul dhuwur, mendhem jero, tetap menghormati secara sepantasnya dan tetap menghargai kebaikan dan keberhasilannya.[5]
Pada
kesempatan ini, penulis tidak sedang atau ingin membahas tentang
kontroversi dari Obama, Soekarno, Soeharto, Benazir Bhutto, atau pun Gus
Dur. Tetapi dari fakta dan fenomena sejarah peradaban tersebut, bahwa
kepemimpinan dan kekuasaan adalah ruang gerak dan sistem yang menjadi
tempat pergulatan miliaran manusia di muka bumi ini. Banyak pakar atau
alah yang melakukan penelitian dan membangun konsepsi tentang teori,
praktek dan gaya kepemimpinan. Ada kurang lebih 3000 penelitian dan jurnal tentang kepemimpinan dan lebih dari 300 definisi tentang kepemimpinan.[6]
Sedangkan kekuasaan sudah ramai diperbincangkan oleh manusia sejak zaman Yunani Kuno hingga zaman kontemporer. Kekuasaan merupakan suatu tema yang tidak dapat dipisahkan dari core
kepemimpinan. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang logam. Kekuasaan
diraih dan dipraktikkan atau dijalankan dengan banyak cara. Pergulatan
kekuasaan selalu terjadi dalam masyarakat madani (civil society).
Praktik-praktik pengelolaan kekuasaan secara ideal ditujukan untuk
mewujudkan kemakmuran dan harmoni sosial. Namun, sebagian besar sejarah
membuktikan dengan fakta yang berkebalikan. Yaitu kekuasaan menjadi tirani bagi masyarakat dan memunculkan konflik dan peperangan dimana-mana.
Disinilah
pentingnya bagi kita untuk mengetahui tentang hakikat dari kepemimpinan
dan kekuasaan. Salah dalam memaknainya, maka yang terjadi adalah
penyalahgunaan kekuasaan dan kepemimpinan. Sehingga tidak banyak
pemimpin atau pengusa yang berakhir dengan tragis dan kefatalan.
Selain
itu, dalam melaksanakan kekuasaan dan kepemimpinan perlu memahami
sumber-sumber serta jenis kekuasaan yang dijalankan. Kekuasaan bagaikan
pedang bermata dua dan itulah salah satu karakter dari kekuasaan
tersebut. Kekuasaan juga memiliki kaitan erat dengan etika dan moral
manusia. Meskipun pada kenyataannya aliran madzab rasialis pada era
modern memandang bahwa moral adalah sesuatu yang terpisah dengan
kekuasaan. Bahkan pendidikan juga merupakan bagian dalam pengelolaan
kekuasaan dan kepemimpinan. Dan permasalahan tersebut dibahasa dalam
judul ”Kukuasaan dan Kepemimpinan” dengan menggunakan metode studi
pustaka.
B. Permasalahan
Dalam
makalah ini dibahas tentang permasalahan-permasalahan yang berhubungan
dengan kekuasaan dan kepemimpinan. Secara terperinci diulas tentang
Konsep Kepemimpinan, Gaya Kepemimpinan, Konsep Kekuasaan, Sumer-Sumber
Kekuasaan, Jenis-Jenis Kekuasaan, Karakteristik Kekuasaan, Kekuasaan Dan
Moral, Kekuasaan dan Godaan, serta Cara Mengelola Kekuasaan.
C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan makalah ini secara garis besar mempunyai beberapa tujuan, yaitu :
1) Untuk mengetahui tentang konsep dan gaya kepemimpinan.
2) Untuk
mengetahui Konsep Kekuasaan, Sumer-Sumber Kekuasaan, Jenis-Jenis
Kekuasaan, Karakteristik Kekuasaan, Kekuasaan Dan Moral, Kekuasaan dan
Godaan, serta Cara Mengelola Kekuasaan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kepemimpinan
1. Konsep Kepemimpinan
Untuk
sekedar memberikan suatu pandangan teoritis tentang teori kepemimpinan
tidak salahnya jika dikutip tentang kepemimpinan dari Ralph. M.
Stogdill yang telah mengadakan survey tentang teori kepemimpinan dalam
bukunya Hand Book of Leadership. Dari buku tersebut akan dikutip
mengenai pengertian teori kepemimpinan, tipe,dan fungsi kepemimpinan.
Walaupun factor sosio-budaya turut menentukan sikap dari seorang
pemimpin yang dapat merupakan sikap cirri khas dari suatu bangsa, namun
ciri-ciri kepemimpinan secara fundamental adalah universal. Dalam buku
Hand book of leadership yang ditulis oleh Ralph.M. Stodgill dengan judul
“ a survey of theory and research” mengenai pemimpin dan kepemimpinan
diungkapkan terlebih dahulu pengertian atau defenisi kepemimpinan
sebagai berikut :
Definisi Kepemimpinan
Kepemimpinan
tampaknya lebih merupakan konsep daripada pengalaman.banyaknya konsep
definisi kepemimpinan yang berbeda hamper sebanyak jumlah orang yang
telah berusaha untuk mendefinisikannya. Sekalipun demikian terdapat
banyak kesamaan diantara definisi tersebut yang memungkinkan adanya
skema klasifikasi secara kasar.
Kepemimpinan sebagai focus proses kelompok
Cooley
(1902) menyatakan bahwa pemimpin selalu merupakan inti dari tendensi
dan dilain pihak, seluruh gerakan social bila diuji secara teliti akan
terdiri atas pelbagai tendensi yang mempunyai inti tersebut.
Mumford (1906-1907) memandang bahwa kepemimpinan adalah keunggulan seseorang atau individu dalam kelompok, dalam proses mengontrol gejala-gejala social.
Mumford (1906-1907) memandang bahwa kepemimpinan adalah keunggulan seseorang atau individu dalam kelompok, dalam proses mengontrol gejala-gejala social.
Menurut
Bernard (1927) pemimoin dipengaruhi oleh kebutuhan dan harapan dari
para anggota kelompok. Pada gilirannya ia memusatkan perhatian dan
pelepasan energi anggota kelompok kearah yang diinginkan
Smith (1934) menguraikan berdasarkan cirri-ciri kepribadian pemimpin, yaitu bahwa kelompok social yang mencerminkan kesatuannya dalam aktivitas yang saling berhubungan selalu terdiri atas dua hal; pusat aktivitas dan individu yang bertindak sesuai pusat tersebut
Brown (1936) berpendapat bahwa pemimpin tidak dapat dipisahkan dari kelompok, akan tetapi boleh dipandang sebagai suatu posisi dengan potensi tinggi di lapangan.
Smith (1934) menguraikan berdasarkan cirri-ciri kepribadian pemimpin, yaitu bahwa kelompok social yang mencerminkan kesatuannya dalam aktivitas yang saling berhubungan selalu terdiri atas dua hal; pusat aktivitas dan individu yang bertindak sesuai pusat tersebut
Brown (1936) berpendapat bahwa pemimpin tidak dapat dipisahkan dari kelompok, akan tetapi boleh dipandang sebagai suatu posisi dengan potensi tinggi di lapangan.
Krech
dan Crutcfield (1984) memandang bahwa dengan kebaikan dari posisinya
yang khusus dalam kelompok ia berperan sebagai agen primer untuk
penentuan struktur kelompok,tujuan kelompok, dan aktivitas kelompok
Knickerbockers (1948) mengikuti alur pikiran yang nampaknya menempatkan dirinya dalam aliran teori pusat kelompok.
Knickerbockers (1948) mengikuti alur pikiran yang nampaknya menempatkan dirinya dalam aliran teori pusat kelompok.
Kepemimpinan sebagai suatu kepribadian dan akibatnya
Bowden
(1926) mempersamakan kepemimpinan dengan kekuatan kepribadian. Bingham (
1927) mendefinisikan pemimpin sebagai sebagai seorang individu yang
memiliki sifat-sifat kepribadian dan karakter yang diinginkan. Bernard
(1926) seorang individu yang lebih efisien dalam melontarkan rangsangan
psikososial terhadap orang lain dan secara efektif mensyaratkan respon
secara kolektif dapat disebut sebagai pemimpin. Tead (1929) melihat
kepemimpinan sebagai perpaduan dari berbagai sifat yang memungkinkan
individu mempengaruhi orang lain untuk mengerjakan tugas tertentu.
Bogardus (1934) mendefinisikannya sebagai kepribadian yang tampil dalam
kondisi kelompok.
Teori kepribadian cenderung memandang kepemimpinan sebagai akibat pengaruh satu arah. Mengingat bahwa pemimpin mungkin memiliki kualitas tertentu yang membedakan dirinya dengan para pengikutnya, biasanya mereka (ahli teori kepribadian) lupa menyinggung karakteristik timbal balik dan interaktif dari situasi kepemimpinan.
Teori kepribadian cenderung memandang kepemimpinan sebagai akibat pengaruh satu arah. Mengingat bahwa pemimpin mungkin memiliki kualitas tertentu yang membedakan dirinya dengan para pengikutnya, biasanya mereka (ahli teori kepribadian) lupa menyinggung karakteristik timbal balik dan interaktif dari situasi kepemimpinan.
Kepemimpinan sebagai seni mempengaruhi orang lain
Munson
(1921) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan meng-handle orang
lain untuk memperoleh hasil maksimal dengan friksi sesedikit mungkin dan
kerja sama yang besar. Allport (1924) kepemimpina merupakan kontak
langsung atau tatap muka antara pemimpin dan pengikut yang merupakan
social control personal. Moore (1927) melaporkan hasil konferensi dimana
Stuart mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan yang memberi kesan
tentang keinginan pemimpin, sehingga dapat menimbulkan kepatuhan dan
rasa hormat. Philips (1939) kepemimpinan adalah pembebanan,
pemeliharaan, dan pengarahan dari kesatuan moral untuk mencapai tujuan
akhir. Allen (1958) memandang pemimpin sebagai seorang yang membimbing
dan mengarahkan orang lain,sedangkan Bennis (1959) mendefinisikan
kepemimpinan sebagai proses dimana seseorang mempengaruhi bawahan untuk
berperilaku sesuai dengan yang diharapkan.
Para
ahli teori pengaruh sukarela, mungkin lebih dari para ahli teori
kepribadian, cenderung memandang kepemimpinan sebagai suatu pemaksaan
atau pendesakan pengaruh secara tidak langsung. Pengabdian para pengikut
dan kelompok ini ditentang oleh para ahli yang mencoba menghilangkan
definisi tentang kemungkinan adanya legitimasi mengenai konsepsi
kepemimpinan yang otoritas.
Kepemimpinan sebagai penggunaan pengaruh
Nash
(1929) menyatakan bahwa kepemimpinan secara tidak langsung menyatakan
adanya pengaruh yang mengubah tingkah laku orang. Tead (1935)
mendefinisikan sebagai aktifitas mempengaruhi orang untuk bekerjasama
dalam mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan bersama. Stodgill
(1950) menyebutnya sebagai suatu proses mempengaruhi aktivitas kelompok
yang terorganisasi untuk pencapaian tujuan. Menurut Bass (1961) usaha
individu untuk mengubah tingkah laku orang lain dapat dikatakan
pemimpin.
Konsep pengaruh mengingatkan terdapatnya perbedaan tingkah laku individu yang mengakibatkan atau mempengaruhi aktivitas kelompok. Didalamnya terdapat hubungan timbal balik antara pemimpin dan pengikut akan tetapi tidak selalu harus dicirikan oleh adanya dominasi, control, dan pemaksaan pengaruh oleh pemimpin.
Konsep pengaruh mengingatkan terdapatnya perbedaan tingkah laku individu yang mengakibatkan atau mempengaruhi aktivitas kelompok. Didalamnya terdapat hubungan timbal balik antara pemimpin dan pengikut akan tetapi tidak selalu harus dicirikan oleh adanya dominasi, control, dan pemaksaan pengaruh oleh pemimpin.
Kepemimpinan sebagai tindakan dan tingkah laku
Menurut
Carter (1953), tingkah laku kepemimpinan menandakan adanya keahlian
tertentu, sehingga dapat dikatakan sebagai tingkah laku kepemimpinan.
Shartle (1956) mendefinisikan tingkah laku kepemimpinan sebagai tingkah
yang akan menghasilakan tindakan orang lain searah dengan keinginannya.
Hemphill (1949) menyatakan bahwa kepemimpinan dapat diartikan sebagai
tingkah laku seorang individu untuk mengarahkan kelompok. Fiedler (1967)
menawarkan definisi yang hampir sama sebagai berikut; tingkah laku
kepemimpinan dapat diartikan pemimpinan mengkoordinasikan kelompok.
Para ahli teori tingkah laku tertarik untuk membuat suatu definisi yang berdasarkan observasi, deskripsi, pengukuran, dan pengujian yang obyektif.
Para ahli teori tingkah laku tertarik untuk membuat suatu definisi yang berdasarkan observasi, deskripsi, pengukuran, dan pengujian yang obyektif.
Kepemimpinan sebagai bentuk persuasi
Schenk
(1928)menyatakan bahwa kepemimpinan adalah pengelolaan manusia melalui
persuasi dan inspirasi daripada melalui pemaksaan langsung. Cleeton dan
Mason (1934) kepemimpinan mengindikasikan adanya kemampuan mempengaruhi
manusia dan menghasilkan rasa aman melalui pendekatan secara emosional
daripada melalui penggunaan otoriter. Copeland (1942) berpendapat bahwa
kepemimpinan adalah seni berhubungan dengan orang lain,merupakan seni
mempengaruhi orang melalui persuasi dengan contoh konkrit.
Definisi
kepemimpinan sebagai bentuk persuasi cenderung banyak diminati oleh
para mahasiswa, para ahli teori militer, dan industri yang bertentangan
dengan konsep otoriter. Kenyataan memperlihatkan bahwa persuasi
merupakan kekuatan untuk mempertajam harapan dan keyakinan,karenanya
akan tampil dan lebih diperhatikan dalam penelitian mengenai
kepemimpinan.
Kepemimpinan sebagai hubungan kekuasaan
French
(1956) mendefinisikan kepemimpinan dalam kerangka pembedaan hubungan
kekuasaan antara anggota dan kelompok. Gerth dan Molls (1953)
kepemimpinan dipandang secara umum adalah hubungan antara pemimpin
dengan yang dipimpin dimana pemimpin lebih banyak mempengaruhi daripada
dipengaruhi karena sebagai suatu hubungan kekuasaan.
Kekuasaan dipandang sebagai suatu bentuk dari dari hubungan saling pengaruh-mempengaruhi. Dalam hal ini dapat diobservasi bahwa pemimpin cenderung untuk mentransformasikan leadership opportunity ke dalam hubungan yang terbuka.
Kekuasaan dipandang sebagai suatu bentuk dari dari hubungan saling pengaruh-mempengaruhi. Dalam hal ini dapat diobservasi bahwa pemimpin cenderung untuk mentransformasikan leadership opportunity ke dalam hubungan yang terbuka.
Kepemimpinan sebagai alat mencapai tujuan
Menurut
Cowley (1928)pemimpin adalah individu yang memiliki program/ rencana
dan bersama kelompok bergerak mencapai tujuan dengan cara yang pasti.
Knickerbocker (1948)berpendapat fungsional kepemimpinan adalah bila
pemimpin dipersepsi oleh para anggota kelompok sebagai pengendali dalam
pemuasan kebutuhan mereka. R. C. Davis (1942) memandang kepemimpinan
sebagai kekuatan dinamik yang merangsang motivasi dan koordinasi
organisasi dalam mencapai tujuan.
Definisi-definisi
tersebut memandang kepemimpinan yang mempunyai nilai instrumental.
Kepemimpinan disini menghasilkan peran-peran tertentu yang harus
dimainkan dan dapat mempersatukan kelomppok dalam rangka mencapai tujuan
bersama. Jadi, kepemimpinan disefinisikan sebagai suatu fungsi yang
sangat penting dalam suatu kelompok.
Kepemimpinan sebagai pembedaan peran
Salah
satu prestasi yang cukup menonjol dari sosiologi modern adalah
perkembangan dari teori peran. Setiap anggota suatu masyarakat menempati
status posisi tertentu, begitu pula halnya pada lembaga-lembaga dan
organisasi. Dalam setiap posisi, individu diharapkan memainkan peran
tertentu. Kepemimpinan dapat dipandang sebagai suatu aspek dalam
diferensiasi peran.
Kebanyakan penelitian tentang kemunculan dan diferensiasi peran banyak berkaitan dengan masalah kepemimpinan, seperti yang dinyatakan sherif (1956), bahwa kepemimpinan merupakan peranan didalam suatu skema hubungan dan ditentukan oleh harapan timbal balik antara pemimpin dan anggota. Jadi, teori dan penelitian yang menyinggung masalah bantuan konfirmasi dan struktur dari harapan merupakan juga masalah kepemimpinan.
Kebanyakan penelitian tentang kemunculan dan diferensiasi peran banyak berkaitan dengan masalah kepemimpinan, seperti yang dinyatakan sherif (1956), bahwa kepemimpinan merupakan peranan didalam suatu skema hubungan dan ditentukan oleh harapan timbal balik antara pemimpin dan anggota. Jadi, teori dan penelitian yang menyinggung masalah bantuan konfirmasi dan struktur dari harapan merupakan juga masalah kepemimpinan.
Kepemimpinan sebagai inisiasi struktur
Gouldner
menyatakan, bahwa terdapat perbedaan antara stimulus yang di timbulkan
oleh pengikut dan yang berasal dari pemimpin; hal ini merupakan
kemungkinan bagin pembentukan tingkah laku kelompok. Homans (1950),
mengidentifikasikan pemimpin kelompok sebagai anggota yang mengawali
suatu interaksi .[7]
Kelompok
penulis tersebut telah berusaha untuk mengidentifikasikan kepemimpinan
berkenaan dengan variable yang menumbulkan diferensiasi dan pemeliharaan
struktur peranan didalam kelompok. Dengan alasan demikian, definisi
yang muncul lebih bersifat teoritik daripada konkrit dan deskriptif.
Yang hendak dituju adalah mempertimbangkan proses dasar yang terlibat
dalam memunculkan peran kepemimpinan.
2. Gaya Kepemimpinan
Gaya
kepemimpinan, pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu
perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut
kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk
suatu pola atau bentuk tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang
demikian ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Davis dan
Newstrom (1995). Keduanya menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara
keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau diacu oleh bawahan tersebut
dikenal sebagai gaya kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin, pada dasarnya dapat diterangkan melalui tiga aliran teori berikut ini.
Teori Genetis (Keturunan). Inti dari teori menyatakan bahwa “Leader are born and nor made”
(pemimpin itu dilahirkan (bakat) bukannya dibuat). Para penganut aliran
teori ini mengetengahkan pendapatnya bahwa seorang pemimpin akan
menjadi pemimpin karena ia telah dilahirkan dengan bakat kepemimpinan.
Dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang ditempatkan karena ia telah
ditakdirkan menjadi pemimpin, sesekali kelak ia akan timbul sebagai
pemimpin. Berbicara mengenai takdir, secara filosofis pandangan ini
tergolong pada pandangan fasilitas atau determinitis.
Teori Sosial. Jika teori pertama di atas adalah teori yang ekstrim pada satu sisi, maka teori inipun merupakan ekstrim pada sisi lainnya. Inti aliran teori sosial ini ialah bahwa “Leader are made and not born” (pemimpin itu dibuat atau dididik bukannya kodrati). Jadi teori ini merupakan kebalikan inti teori genetika. Para penganut teori ini mengetengahkan pendapat yang mengatakan bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup.
Teori Ekologis.
Kedua teori yang ekstrim di atas tidak seluruhnya mengandung kebenaran,
maka sebagai reaksi terhadap kedua teori tersebut timbullah aliran
teori ketiga. Teori yang disebut teori ekologis ini pada intinya berarti
bahwa seseorang hanya akan berhasil menjadi pemimpin yang baik apabila
ia telah memiliki bakat kepemimpinan. Bakat tersebut kemudian
dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman yang
memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Teori ini menggabungkan
segi-segi positif dari kedua teori terdahulu sehingga dapat dikatakan
merupakan teori yang paling mendekati kebenaran. Namun demikian,
penelitian yang jauh lebih mendalam masih diperlukan untuk dapat
mengatakan secara pasti apa saja faktor yang menyebabkan timbulnya sosok
pemimpin yang baik.
Selain
pendapat-pendapat yang menyatakan tentang timbulnya gaya kepemimpinan
tersebut, Hersey dan Blanchard (1992) berpendapat bahwa gaya
kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen,
yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses
kepemimpinan tersebut diwujudkan. Bertolak dari pemikiran tersebut,
Hersey dan Blanchard (1992) mengajukan proposisi bahwa gaya kepemimpinan
(k) merupakan suatu fungsi dari pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi
tertentu (s)., yang dapat dinotasikan sebagai : k = f (p, b, s).
Menurut
Hersey dan Blanchard, pimpinan (p) adalah seseorang yang dapat
mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja
maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi.
Organisasi akan berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan
dalam bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang
berbeda, seperti keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual.
Sedangkan bawahan adalah seorang atau sekelompok orang yang merupakan
anggota dari suatu perkumpulan atau pengikut yang setiap saat siap
melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati bersama guna
mencapai tujuan. Dalam
suatu organisasi, bawahan mempunyai peranan yang sangat strategis,
karena sukses tidaknya seseorang pimpinan bergantung kepada para
pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang pemimpinan dituntut untuk
memilih bawahan dengan secermat mungkin.
Adapun
situasi (s) menurut Hersey dan Blanchard adalah suatu keadaan yang
kondusif, di mana seorang pimpinan berusaha pada saat-saat tertentu
mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam
rangka mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan
pimpinan pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang
dilakukan pada saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan.
Dengan demikian, ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan
tersebut, yaitu pimpinan, bawahan dan situasi merupakan unsur yang
saling terkait satu dengan lainnya, dan akan menentukan tingkat
keberhasilan kepemimpinan.
Tipologi Kepemimpinan
Dalam
praktiknya, dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut berkembang beberapa
tipe kepemimpinan; di antaranya adalah sebagian berikut (Siagian,1997).
Tipe Otokratis. Seorang
pemimpin yang otokratis ialah pemimpin yang memiliki kriteria atau ciri
sebagai berikut: Menganggap organisasi sebagai pemilik pribadi;
Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi; Menganggap
bawahan sebagai alat semata-mata; Tidak mau menerima kritik, saran dan
pendapat; Terlalu tergantung kepada kekuasaan formalnya; Dalam tindakan
pengge-rakkannya sering memperguna-kan pendekatan yang mengandung unsur
paksaan dan bersifat menghukum.
Tipe Militeristis.
Perlu diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dari seorang
pemimpin tipe militerisme berbeda dengan seorang pemimpin organisasi
militer. Seorang pemimpin yang bertipe militeristis ialah seorang
pemimpin yang memiliki sifat-sifat berikut : Dalam menggerakan bawahan
sistem perintah yang lebih sering dipergunakan; Dalam menggerakkan
bawahan senang bergantung kepada pangkat dan jabatannya; Senang pada
formalitas yang berlebih-lebihan; Menuntut disiplin yang tinggi dan kaku
dari bawahan; Sukar menerima kritikan dari bawahannya; Menggemari
upacara-upacara untuk berbagai keadaan.
Tipe Paternalistis.
Seorang pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang paternalistis
ialah seorang yang memiliki ciri sebagai berikut : menganggap bawahannya
sebagai manusia yang tidak dewasa; bersikap terlalu melindungi (overly protective); jarang
memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan;
jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil
inisiatif; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk
mengembangkan daya kreasi dan fantasinya; dan sering bersikap maha tahu.
Tipe Karismatik.
Hingga sekarang ini para ahli belum berhasil menemukan
sebab-sebab-sebab mengapa seseorang pemimpin memiliki karisma. Umumnya
diketahui bahwa pemimpin yang demikian mempunyai daya tarik yang amat
besar dan karenanya pada umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya yang
sangat besar, meskipun para pengikut itu sering pula tidak dapat
menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin itu. Karena
kurangnya pengetahuan tentang sebab musabab seseorang menjadi pemimpin
yang karismatik, maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supra natural powers).
Kekayaan, umur, kesehatan, profil tidak dapat dipergunakan sebagai
kriteria untuk karisma. Gandhi bukanlah seorang yang kaya, Iskandar
Zulkarnain bukanlah seorang yang fisik sehat, John F Kennedy adalah
seorang pemimpin yang memiliki karisma meskipun umurnya masih muda pada
waktu terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Mengenai profil, Gandhi tidak dapat digolongkan sebagai orang yang ‘ganteng”.
Tipe Demokratis.
Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe pemimpin
yang demokratislah yang paling tepat untuk organisasi modern. Hal ini
terjadi karena tipe kepemimpinan ini memiliki karakteristik sebagai
berikut : dalam proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari
pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk yang termulia di dunia; selalu
berusaha mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan
kepentingan dan tujuan pribadi dari pada bawahannya; senang menerima
saran, pendapat, dan bahkan kritik dari bawahannya; selalu berusaha
mengutamakan kerjasama dan teamwork dalam
usaha mencapai tujuan; ikhlas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya
kepada bawahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian diperbaiki agar
bawahan itu tidak lagi berbuat kesalahan yang sama, tetapi lebih berani
untuk berbuat kesalahan yang lain; selalu berusaha untuk menjadikan
bawahannya lebih sukses daripadanya; dan berusaha mengembangkan
kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.
Secara
implisit tergambar bahwa untuk menjadi pemimpin tipe demokratis
bukanlah hal yang mudah. Namun, karena pemimpin yang demikian adalah
yang paling ideal, alangkah baiknya jika semua pemimpin berusaha menjadi
seorang pemimpin yang demokratis.
B. Kekuasaan
”Power
is not an institution, and not a structure; neither is it a certain
strength we are endwed with; it it the name that one attributes to a
complex strategical situation in a particular society” Michel Foucault
Hampir
semua orang membutuhkan kekuasaaan. Sekecil apapun, sadar atau tidak
sadar, kekuasaaan selalu dicari, diperebutkan. Dengan kekuasaan, orang
dapat memerintahkan kemauanya dan mengontrol kepatuhan orang lain.
Dengan kekuasaaan perubahan dapat diciptakan sehingga pemimpin dapat
mewujudkan visi dan obsesinya. Namun
dengan kekuasaan pula orang dapat membangun dan sekaligus merusak.
Kekuasaan mengandung paradoks, tergantung pada siapa yang akan melakukan
.
1. Konsep Kekuasaan
Menurut
Rosinski, kekuasaan merupakan suatu fenomena yang berhubungan dengan
esensi manusia, yaitu sebagai karakteristik yang khas dalam posisinya
terhadap alam. Menuruynya, keberadaan manusia merupakan suatu mahkluk
yang spesifik karena meskipun dia dilengkapi dengan kemampuan-kemampuan
biologis, tetapi kehidupan manusia tidak seluruhnya diprogram oleh
keberadaan biologisnya. Dalam pandangan ini manusia mempunyai kemampuan
untuk bertindak (action). Dan manusia sebagai homo agent; yaitu manusia mempunyai self programming. Memalui
action manusia dapat menentukan posisinya di alam ini. Dimana
potensi-potensi ini membuat manusia dapat melakukan sesuatu yang berbeda
dengan yang lain, juga membuat manusia itu lain dari alamnya. Dengan
pengertian yang luas, kekuasaan (power) merupakan kemampuan manusia
untuk berbuat sesuatu yang lain dari yang lainnya serta manusia itu
menentukan keterbatasaannya dalam menempatkan diri di dunia ini.
Pandangan ini juga relevan dengan apa yang dikemukakan oleh Poggi, bahwa
kekuasaan merupakan sifat yang kritis dalam hubungan antara manusia
dengan alam.
Dari
sini dapat kita lihat, bahwa kekuasaan merupakan sifat yang hakiki dari
manusia dalam arti menyimpan dan menggunakan energi yang ada dalam
dirinya sendiri untuk membuat sesuatu yang berbeda dengan lingkungannya.
Seseorang yan tunduk pada kekuasaan adalah dia yang memilih sendiri
tindakannya untuk self determinition. Poggi mengikuti pemikiran Max
Weber dalam terori kekuasaan sosial (social power). Dimana dikatakan
Weber ” Powe is probability, weithin social relationship, of
realizing one’s own will even against resistance, regardless of the
basis on which this probability rest” Yaitu kekuasaan sebagai suatu
kemungkinan dalam rangka hubungan-hubungan sosial untuk melaksanakan
keinginan seseorang, sungguhpun terdapat tantangan, dan tidak tergantung
pada dasar-dasar dari kemungkinan-kemungkinan tersebut.[8]
Namun,
secara umum Miriam Budiharjo menganggap kekuasaa sebagai kemampuan
pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa
sehingga tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan
pelaku yang mepunyai kekuasaan.[9]
Tentang hal ini, mari kita telaah Sallie Westwood, dalam Power and The Sosial.
Dalam karya tersebut, dia mencoba menelusuri geneologi gagasan tentang
kekuasaan telah diperbincangkan di masa lampau samapi era mutikhir.
Tema kekuasaan telah diperbincangkan oleh banyak filsuf masa lampau,
mulai dari pemikir Yunani, para penyusun epos Mahabarata, Bharata Yuda,
dan Ramayana di India, samapai Ibnu Khaldun. Di era modern, muncul para
pemikir barat, seperti Thomas Hobbes (1588-1679), Lock (1632-1704), dan
Niccolo Machiavelli (1469-1527). Ketiga pemikir terakhir memposisikan
manusia sebagai rational action, maka konsepsi kekuasaan yang
rasionallah yang mengemuka.[10]
Karena
kekuasaan selalu terkait dengan konteks sosial, interaksi dan
konfigurasi sosial dan politik yang menyertainya sangat penting. Maka
pernyataan bahwa semua relasi sosial adalah relasi kekuasaan itu sendiri sangatlah relevan.
Dari penjabaran Sallie ada beberapa hal penting, yaitu: (1) kekuasaan dipandang secara zero sum (tumpas kelor) dengan penekanan pada dua kata kunci, yakni repression (represi) dan coercion. Konsep zero sum game ini mempertentangkan antara yang powerful dan powerless;
(2) kekuasaan dipandang sebagai konsekuensi dari gagasan hegemoni dan
kontra-hegemoni; (3) kekuasaan dipandang sebagai manipulasi dan
strategi; (4) kekuasaan terkait dengan pengetahuan (knowledge), disiplin dan governance; (5) kekuasaan performative merupakan produk dari pelanggaran (transgressions) dan gangguan (disruptions).
Pendapat Robert A. Dahl, menjelaskan bahwa suppose
there are only two people in a system, A and B. A influences B to the
extent that the changes B’s actions or predispositions in some way.
Dalam hal ini, si A memiliki kekuasaan atas B apabila si A dapat
mempengaruhi B untuk melakukan sesuatu yang yang sebenarnya tidak
dikehendaki si B. Sebaliknya, apabila si A mempengaruhi B untuk
melakukan sesuatu yang juga sesuai dengan kehendak B, maka hal ini bukan
kategori kekuasaan.
Dalam konteks ini, kamus Concise Dictionary of Politics meringkas definisi power tersebut, yaitu bahwa A berkuasa atas B apabila:
(1) A memiliki (effec) atas pilihan dan tindakan B
(2) A memiliki kapasitas untuk menggerakkan pilihan dan langkah B sesuai dengan kehendak A
(3) A memiliki kapasitas untuk mengesampingkan perlawanan B
(4) Hubungan A dan B sebagaimana disebut dalam (1), (2), dan (3) adalah bagian dari struktur sosial dan cenderung terus berlangsung.
Konsep
kekuasaan menurut Antonio Gramsci (1891-1937), seorang Marxis dari
Italia yang sangat terkenal dengan pemikirannya tentang kekuasaan yang
ditulisnya pada waktu di penjara.[11]
Masalah yang dikemukakan oleh Gramsci adalah mengapa dan bagaimana
negara modern bisa mendapatkan konsensus dan kekuasaan dari masyarakat.
Pemikiran yang mengemuka ini dikenal dengan sebutan hegemoni. Hegemoni
adalah kondisi sosial dalam semua aspek kenyataan sosial yang didominasi
atau disokong oleh kelas tertentu.[12]
2. Sumber-Sumber kekuasaan
Menurut
catatan Wirawan dari para ahli, sumber kekuasaan berupa (1) posisi; (2)
sifat personal; (3) keahlian; (4) peluang untuk mengontrol informasi.
Sedangkan ahli lain membaginya dalam lima hal., yakni (1) legitimasi:
otoritas, peraturan, undang-undang; (2) kontrol atas sumber keuangan dan
informasi; (3) keahlian dan kritikalitas; (4) hubungan sosial: kontak,
pertemanan, kekuasaan dalam angka; (5) karakteristik personal, seperti
kharismatis, menarik.[13] Dan dari sumber-sumber ini muncul istilah kekuasaan personal, kekuasaan keahlian, dan kekuasaan peluang.
Sumber kekuasaan berbeda dengan basis kekuasaan atau basis of power.
Yang dimaksud dengan basis kekuasaan adalah sumber hubungan kekuasaan
antara pihak yang mempengaruhi (agen) dan yang dipengaruhi (target).
Basis kekuasaan berupa (1) paksaan; (2) imbalan; (3) persuasi; dan (4)
pengetahuan. Dan dari basis kekuasaan itu muncul istilah seperti
kekuasaan paksa, kekuasaan imbalan, kekuasaan persuasi, dan kekuasaan
pengetahuan.
Kemudian
bagaimana mengelola sumber kekuasaan terjaga dan basis kekuasaan harus
diperkuat. Bagaimana caranya? Yaitu: (1) upayakan untuk tetap mengontrol
proses pengambilan keputusan; (2) berkoalisilah dengan kekuatan yang
lebih besar sehingga memunculkan detterence effect alias efek daya
tangkal; (3) perkuat institusi Anda, karena organisasi yang kuat dan
sehat akan punya pengaruh nyata baik secara internal dan eksternal; (4)
tetaplah etis dalam berpolitik.
3. Jenis-Jenis Kekuasaan
Berdasarkan
sumber kekuasaan dan basis kekuasaan, maka terkait dengan tema-tema
sosial, Sallie membagi kekuasaan dalam kekuasaan rasialis (racialised power), kekuasaan kelas (class and power); kekuasaan gender (enggendered power); kekuasaan seksualitas (power and sexuality); serta kekuasaan visual dan spasial (visual and spatial power). Klasifikasi Sallie ini dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tema-tema Sosial Kekuasaan
|
Keterangan
|
Kekuasaan rasialis
|
Masalah
ras senantiasa hadir, bahkan di dunia modern. Masalah yang sangat
terkait dengan politik identitas ini memang merupakan isu primitif dan
kuno di era modern, tetapi tidak ada jaminan bahwa konflik rasial atau
paham rasialisme musnah sama sekali.
|
Kekuasaan kelas
|
Walaupun
sudah memperoleh banyak kritik dan revisi, konsepsi kelas ala Marx
tetap menjadi salah satu pembahasan sentral dalam sosiologi. Konsep
kelas tidak lagi seketat gambaran Marx yang meniscayakan pertarungan
kelas dalam mewujudkan utopianya tentang masyarakat tanpa kelas.
|
Kekuasaan gender
|
Kalangan
feminis mengkritik keras kekuasaan patriakal (patriarchy power) yang
didominasi sedemikian ketat oleh kaum laki-laki sehingga menimbulkan
diskriminasi gender dan ketidakadilan dalam mengakses sumber-sumber
kekuasaan.
|
Kekuasaan Seksualitas
|
Merujuk
pada Foucault, ada relasi kuasa dalam cara pandang atas seksualitas.
Foucault mempertanyakan perkembangan sikap dan wacana masyarakat eropa
tentang seksualitas selama tiga abad belakangan[14] Kajiannya sangat rumit dan tampaknya tak habis dibahas.
|
Kekuasaan spasial
|
Dalam
pandangan negara modern, lanskap kekuasaan mencakup wilayah
(territories) dan perbatasan (borders) suatu bangsa. Walaupun
globalisasi dibayangkan sebagai dunia tanpa batas, bagaimana pun
kekusaan spasial masih sangat relevan.
|
Kekuasaan Visual
|
Inilah
kekuasaan dunia pencitraan di mana televisiual power menjadi sangat
penting. Sejatinya, siapa yang menguasai alat pencitraan (media
massa), dialah yang berkuasa. Kekuasaan visual dapat mengatasi kekuasaan
spasial, karena televisual power tak mengenal batas wilayah. Apalagi
dengan perkembangan internet.
|
Genesis kekuasaan, atau dalam terminologi lain: “jenis-jenis kekuasaan
(types of power)” (Robbins-1991), atau “basis-basis kekuasaan sosial
(the bases of social power)” (French-1960), pada hakekatnya
teridentifikasi dari lima hal: legitimate power, coercive power, reward power, expert power, dan referent power[15].
Legitimate Power (kekuasaan sah),
yakni kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin sebagai hasil dari
posisinya dalam suatu organisasi atau lembaga. Kekuasaan yang memberi
otoritas atau wewenang (authority) kepada seorang pemimpin untuk memberi
perintah, yang harus didengar dan dipatuhi oleh anak buahnya. Bisa
berupa kekuasaan seorang jenderal terhadap para prajuritnya, seorang
kepala sekolah terhadap guru-guru yang dipimpinnya, ataupun seorang
pemimpin perusahaan terhadap karyawannya.[16]
Coercive Power (kekuasaan paksa),
yakni kekuasaan yang didasari karena kemampuan seorang pemimpin untuk
memberi hukuman dan melakukan pengendalian. Yang dipimpin juga menyadari
bahwa apabila dia tidak mematuhinya, akan ada efek negatif yang bisa
timbul. Pemimpin yang bijak adalah yang bisa menggunakan kekuasaan ini
dalam konotasi pendidikan dan arahan yang positif kepada anak buah. Bukan hanya karena rasa senang-tidak senang, ataupun faktor-faktor subyektif lainnya.[17]
Reward Power (kekuasaan penghargaan),
adalah kekuasaan untuk memberi keuntungan positif atau penghargaan
kepada yang dipimpin. Tentu hal ini bisa terlaksana dalam konteks bahwa
sang pemimpin mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk memberikan
penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahannya. Penghargaan
bisa berupa pemberian hak otonomi atas suatu wilayah yang berprestasi,
promosi jabatan, uang, pekerjaan yang lebih menantang, dan sebagainya.[18]
Expert Power (kekuasaan kepakaran),
yakni kekuasaan yang berdasarkan karena kepakaran dan kemampuan
seseorang dalam suatu bidang tertentu, sehingga menyebabkan sang bawahan
patuh karena percaya bahwa pemimpin mempunyai pengalaman, pengetahuan
dan kemahiran konseptual dan teknikal. Kekuasaan ini akan terus berjalan
dalam kerangka sang pengikut memerlukan kepakarannya, dan akan hilang
apabila sudah tidak memerlukannya. Kekuasaan kepakaran bisa terus eksis
apabila ditunjang oleh referent power atau legitimate power.
Referent Power (kekuasaan rujukan)
adalah kekuasaan yang timbul karena karisma, karakteristik individu,
keteladanan atau kepribadian yang menarik. Logika sederhana dari jenis
kekuasaan ini adalah, apabila saya mengagumi dan memuja anda, maka anda
dapat berkuasa atas saya.[19]
4. Karakteristik Kekuasaan
Sebagaimana yang pernah disinggung sebelumnya bahwa kekuasaan bagaikan pedang bermata dua. Apakah itu salah satu dari karakteristik atau bahkan watak dasar kekuasaan?
Kekuasaan
sesunggunya netral. Namun, ia bisa dipakai untuk kebaikan dan
kesejahteraan atau sebaliknya disalahgunakan alias diselewengkan untuk
kepentingan si pemegang kekuasaan. Menurut Wirawan, kekuasaan memiliki
bebrapa karakteristik. Pertama, kekuasaan merupakan sesuatu yang abstrak. Kedua, kekuasaan merupakan milik interaksi sosial, bukan milik individu. Ketiga, pemegang kekuasaan yang egois cenderung menyalahgunakannya.
Mengapa Kekuasaan itu abstrak?
Kekuasaan
bukan sejenis benda yang bisa diraba atau dicium, tetapi hanya bisa
dirasakan pengaruh dan dampaknya. Kalau tidak ditegaskan, kekuasaan
bersifat illegible, tidak kelihatan. Maka
instansi tertentu membutuhkan seragam yang mencantumkan tanda pangkat.
Contohnya, polisi dan tentara. Beda pangkat, beda pula kewenangannya.
Dampak
kekuasaan juga dapat dirasakan dengan jelas. Keputusan hakim, misalnya,
berdampak langsung atau tidak langsung pada tervonis dan yang terkait
dengannya. Begitu pula dampak kebijakan pemerintah. Meskipun tidak paham
tentang proses pengambilan keputusan sebuah kebijakan politik, rakyat
bahwa bisa merasakan dampaknya, yaitu apakah menyejahterakan atau tidak.
Kekuasaan adalah milik interaksi sosial
Kekuasaan
cenderung identik dengan social power, maka ia harus berada dalam suatu
sistem sosial. Harus ada komunitas sosial. Oleh karena itu, kekuasaan
ada dimana-mana, di sekolah, di rumah, di kantor, di pasar, di
pemerintahan, dan sebagainya. Karena harus ada sistem sosial, itu
berarti melibatkan banyak orang.
Interaksi sosial telah menjadi kata kunci tersendiri. Dalam
teori komunikasi sosial, ada komunikator dan komunikan, ada subjek dan
sasarannya. Kemudian terjadi proses timbal-balik alias interaksi. Dalam
proses interaksi, tentu ada dialog, ada tawar-menawar, termasuk yang
erkait dengan implementasi kekuasaan.
C. Kuasa dan Moral
Sejak semula kekuasaan selalu berwajah dua: sekaligus mempesona dan menakutkan.
Seperti menurut fenomenologi agama, hanya Yang Illahi. Oleh karena itu
tidaklah mengherankan bahwa legitimasi kekuasaan yang paling kuno adalah
legitimasi religious. Kekuasaan dihayati dan diterima sebagai sesuatu
dari alam gaib. Raja dipandang sebagai pengejawantahaan Yang Ilahi,
sebagai wadah yang dipenuhi dengan kekuatan-kekuatan halus alam semesta,
yang daripadanya mengalirka ketentraman, kesejahteraan, dan keadilan
kepada rakyat disekeliling. Implikasi terpenting legitimasi religious
ialah bahwa penguasa dalam menjalankan kekuasaannya berada diatas
penialaian moral.[20]
Tiga
tokoh yang secara konsekuen dan tajam meletakkan koordinat-koordinat
antara kuasa dan moral yaitu: Thomas Aquinus (1225-1274) menggantungkan
legitimasi kekuasaan Negara pada kesesuaiannya dengan tuntutan-tuntutan
normative fundamental. Thomas Hobbes (1588-1679) mengambil posisi
perlawanan: melalui hukum yang ditetapkannya, kekuasan memastikan apa
yang adil dan apa yang tidak. Sedangkan, Niccolo Machiavelli
91469-1527), di tengah, sama sekali menolak pertimbangan-pertimbangan
tentang legitimasi dan menggantikannya dengan teknik pragmatis
penanganan kekuasaan. Tiga posisi itu sekaligus berlawanan satu sama
laid an berkesinambungan dalam satu medan permsalahan etika kekuasaan.
Thomas
Aquinas secra radikal menuntut legitimasi etis penggunaan kekuasaan.
Kekuasaan tidak dapat membenarkan dirinya sendiri. Kekuasaan hanyalah
suatu kenyataan fisik dan sosial, tetapi tidak memuat sesuatu wewenang.
Bagi Thomas tah ada seorangpun yang secara asasi mempunyai wewenang atas
manusia lain. Yang berwenang adalah sang pencipta. Pendasaran segenap
kekuasaan yang sah pada legitimasi etis berdasarkan kodrat dan martabat
manusia sebagai mahkluk yang bebas merupakan sumbangan Thomas Aquinus
yang hakiki pada etika politik.
Machiavelli
sering disalah pahami, seakan-akan ia seorang pemikir yang sinis, yang
hanya berkepentingan untuk mengabadikan kekuasaan para pemimpin. Sebenarnya
Machiavelli mengagumi Republik Roma kuno yang keras dan tinggi dalam
tuntutan etika politik. Ia menderita karena ketidakberdayaan politik
Italia yang sebagaian dikuasi oleh jerman, Prancis, dan Spanyol, dan
untuk sebagaian terpecah belah kedalam Negara-negara kota. Ia merindukan
suatu Negara yang sehat, kuat, dan tidak korup. Ia mengharapkan
semangat tak mau kalah dan menuntut kesigapan militer para warga Negara.
Tetapi agar tujuan-tujuan itu tercapai, sang pemimpin harus dulu mengamankan kekuasaannya. Dan
oleh karena itu, Machiavelli membatasi diri pada pertanyaan tentang
teknik perebutan dan pertahanan kekuasaan oleh sang raja. Hal
itu memang dilakukan dengan sinisme yang ekstrem. Baginya politik dan
moral merupakan dua hal yang berbeda. Menurutnya, dalam urusan politik
perhatian terhadap norma-norma moral tidak pada tempatnya. Yang
diperhitungkan hanyalah sukses. Machiavelli hanya mengenal satu kaedah
etika politik: yang baik adalah apa saja yang memperkuat kekuasaan
pemimpin. Segala apa yang melayani tujuan itu harus dibenarkan.
Menurut
Machiavelli, tidak ada manfaatnya kalau kita mempersoalkan legitimasi
moral kekuasaan. Yang menentukan ialah teknik untuk merebut dan untuk
mempertahankannya. Sudah cukuplah, apabila pemimpin menunjukkan diri
sebagai orang yang tegas, brutal, dan itu ditekankan olehnya. Namun
Machiavelli tidak melihat duah: pertama, bahwa kekuasaan yang hanya
berdasarkan kebrutalan dan kelicikan dengan sendirinya rapuh adanya.
Kedua, bahwa stabilitas kekuasaan tergantung dari apakah kekuasaan
dipandang sebagai sah atau tidak oleh masyarakat.
Sedangan
Thomas Hobbes menempatkan pertanyaan legitimasi kekuasaan pada pusat
pemikirannya. Tetapi bertentangan dengan Thomas Aquinas yang mendudukkan
kekuasaan terhadap tuntutan legitimasi moral melalui hukum kodrat,
hobbes menundukkan hukum moral di bawah kekuasaan. Gagasan Thomas hobbes
berpijak pada dua hal, yaitu (1) Negara harus kuat tanpa tanding
sehingga dapat memastikan, seperlunya memaksakan, ketaatan para anggota
masyarakat terhadap peraturan-peraturannya, dan (2) Negara harus
menetapkan suatu tatanan hukum, tentangnya berlaku, bahwa setiap orang
akan menaatinya, akan dihukum mati. Dengan
mendasarkan Negara semata-mata pada rasa takut para warga negara,
hobbes justru kehilangan apa yang dicarinya yaitu stabilitas.
Akan
tetapi cara berpikir Hobbes masih tetap merupakan godaan para pemegang
kekuasaan. Dalam kenyataan negara hukum formal ala Hobbes bukanlah suatu
negara hukum, melainkan Negara kekuasaan. Hobbes menambahkan bahwa
perlunya suatu system hukum yang efektif di tangan penguasa mutlak untuk
menegakkan ketertiban sosial. Rasa takut perlu dilestarikan, kambing
hitam perlu dipelihara untuk pada saatnya nanti dikorbankan, dan ancaman
hukuman mati dikenakan kepada mereka yang melanggar undang-undang
antisubversi. Dan karena penguasa Negara kekuasaan itu tidak memiliki
legitimasi formal, akhirnya ia terpasak akan menggunakan cara-cara yang
ditawarkan Machiavelli kepada pemimpin kota Firenze. Ternyata kekuasaan
itu stabil apabila sah secara moral. Dan bila anda telah dapat
mengendalikan kuasa pikir, maka anda dapat menemukan kuasa tanpa batas.[21]
D. Kekuasaan dan Godaan
Bicara soal godaan kekuasaan, rasanya memang benar bahwa kekuasaan cenderung diselewengkan alias korup. Seperti yang telah di kemukakan oleh Lord Acton ” Power tends to corrupt, Absolute power corrupt absolutely”
Kekuasaan
memang memang bisa menggoda pemegangnya. Belakangan sering kita
dikagetkan dengan penangkapan polisi yang diduga melakukan korupsi oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kita prihatin dan tidak menyangka
bahwa polisi idola kita bahkan terlibat dalam kasus korupsi kelas
tinggi. Di era informasi digital ini, pemberitaan mengenai hal itu cepat
merebak dan bertubi-tubi. Godaan memang selalu terbuka bagi siapa saja
yang punya kesempatan dan kekuasaan. Para politisi yang punya jabatan
formal baik di legislatif, pemerintahan, maupun lembaga negara lainnya,
pasti merasakan betapa godaan dan politisi penikmat godaan.
Sejarah
mencatat, misalnya, Presiden Bill Clinton pernah terlibat skandal
Monicagate yang membawanya keproses impeachment. Clinton memang selamat
dari pemakzulan, tetapi publik tidak akan melupakan begitu saja
affir-nya dengan perempuan bernama Monica Lewinski yang bukan istrinya
itu. Dalam sejarah kepresidenan Amerika, sesungguhnya itu bukanlah
peristiwa perselingkuhan pertama. Dalam buku karangan Jon Feda dan Nico
Ermann, Amrica Undercover, misalnya diungkapkan sejumlah kisah asmara
perselingkuhan bebrapa presiden, seperti Thomas Jefferson, James
Buchanan. Warren Gamaliel Harding, Franklin Delano Roosevelt. Dwight
Eisenhower, J. F Kennedy, Lyndon B. Johnson, Bill Clinton, hingga G. W.
Bush[22]
Sebagaian
besar godaan dari kekuasaan adalah perempuan dan uang. Seseorang yang
sudah lama memegang kekuasaan akan jatuh dengan kedua hal tersebut.
Sejarah dan perdaban telah mencatat mulai dari zaman kuno hingga zaman
global sekarang.
E. Pra-Berkuasa, Saat Berkuasa, dan Pasca Berkuasa
Dalam
kekuasaan kita harus mampu mengelola kekuasaan itu sendiri. Mengelola
kekuasaan mengandung pengertian bagaimana meraih, mempertahankan,
memanfaatkan, dan mengakhiri kekuasaan dengan sebaik-baiknya. Seni
mengelola kekuasaan terkait dengan fase-fase kekuasaan itu sendiri.
Pemimpin yang langgeng adalah yang mampu mewariskan sistem kekuasaan
yang kokoh pada penerusnya. Dengan
demikian harus ada proses regenerasi yang baik. Regenerasi itu
sunatullah. Tanpa regenerasi tidak akan ada kesinambungan kekuasaan.
Sederhananya, ada tiga tahap yang perlu memperoleh perhatian khusus: tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:
1. Praberkuasa
Pertanyaan
yang hadir pada konteks ini adalah apa yang mesti dilakukan sebelum
berkuasa? Kekuasaan perlu diraih dan bahkan direbut. Namun, caranya
perlu kita perhatikan. Caranya harus wajar dan baik alias tidak
menghalalkan segala cara. Orang yang bermadzab realis biasanya
meminggirkan dulu etika. Yang penting, bagaimana dia bisa berkuasa, apa
pun jalan dan caranya.
Dalam
pandangan madzab realis, pada hakikatnya, manusia suka berkonflik dan
berperang. Dunia ini selalu dalam keadaan anarki atau ”perang” Segala
aturan main tidak akan efektif, kecuali pihak-pihak yang unggul dalam
kompetisi yang sarat dengan kepentingan berpengaruh dan mengatur. Oleh
karena itu, diperlukan strategi untuk eksis dan survive.
Namun,
dapat dibayangkan bagaimana kalau semua kekuasaan diraih dengan
mengabaikan etika? Sejarah kekuasaan manusia memang identik dengan
peperangan. Dalam Al Qur’an, misalnya, ada satu drama yang menegaskan
betapa malaikat protes kepada Tuhan yang hendak menciptakan manusia di
muka bumi. Mengapa Tuhan menciptakan manusia di muka bumi, padahal makhluk ini suka membuat kerusakan dan suka berperang satu sama lainnya.[23]
Hal-hal
yang harus dilakukan pada prakekuasaan adalah terkait dengan realitas
objektif internal dan eksternal seseorang atau sekelompok orang yang
ingin meraih kekuasaan. Realitas internal terkait dengan seberapa besar
modal yang dimilikinya, seberapa besar kapasitas dan kapabelitas yang
dimilikinya, seberapa luas wawasan politiknya, seberapa besar dukungan
dan jaringan yang dimilikinya, seberapa besar kemampuan menciptakan
aliansi, seberapa besar kualitas pengenalan dirinya, seberapa luas
liputan media terhadapnya, seberapa besar modal sosial dan modal
intelektual yang dimiliki seseorang. Dan kunci dari semua ini adalah
kesiapan dan persiapan. Dalam pengertian lain, untuk meraih kekuasaan
seseorang harus mengusai ideologi, politik, organisasi, setrategi dan
taktik (ideopolitorstratak).
Dalam
kondisi yang otoritarian, kekuasaan diperoleh dari garis keturunan dan
atau revolusi. Kekuasaan yang turun-temurun terjadi di negara
monarki-absolut. Revolusi biasanya merupakan upaya untuk menumbangkan
kekuasaan yang absolut. Kekuasaan
yang direbut dengan senjata oleh kaum militer melalui kudeta. Sedangkan
dalam kondisi normal dan wajar, kekuasaan diperebutkan melalui
mekanisme demokrasi. Dan dalam alam demokrasi semua orang punya
kesempatan yang sama.
Kekuasaan yang diraih dengan paksa (kudeta)
Kata
”kudeta” berasal dari bahasa Perancis, coup d’etat, yang artinya
serangan atau pukulan kepada negara. Kudeta terjadi apabila ada
sekelompok kecil tentara kritis, menyusup, mengambil alih, dan
mengontrol pemerintahan. Kudeta merupakan tindakan ilegal. Sehingga
Samuael P Hutington, mendefinisikan tiga jenis kudeta, yakni breakthrough coup d’etat, guardian coup d’etat, dan veto coup d’etat.
Breakthrough coup d’etat terjadi jika militer melancarkan revolusi untuk menggulingkan pemerintahan tradisional dan menciptakan elit birokrasi baru. guardian coup d’etat
terjadi tatkala militer melakukan kudeta dengan dalih menegakkan
tatanan publik dan sejumlah alasan lain yang telah melekat pada alam
pikiran militer dan dikaitkan dengan patriotisme. Perdana Menteri
Pakistan Zulfikar Ali Butto, misalnya, karena dituduh berada di belakang
kerusuhan sipil, maka digulingkan oleh Panglima Jendral Muhammad
Ziaulhaq pada tahun 1977. kemudian Jendral Pervez Musharraf menumbangkan
Perdana Menteri Nawaz Sharif pada tahun 1999 dengan tuduhan yang sama.
Sedangkan veto coup d’etat terjadi ketika militer memveto atau
menolak eksistensi kelompok-kelompok tertentu dalam politik dan
berkonfrontasi dengan kekuatan politik oposisi-sipil.
Guardian coup d’etat dan
Veto coup d’etat dipimpin oleh Panglima Jendral sedangkan breakthrough
coup d’etat dipimpin oleh para perwira menengah (dengan pangkat kolonel
ke bawah)
2. Saat Berkuasa
Kekuasaan
adalah amanah dan sarana untuk mewujudkan tujuan dan visi sang
pemimpin. Kekuasaan bukan untuk kekuasaan atau segala-galanya. Kekuasaan
dibatasi oleh sumberdaya dan waktu. Oleh
karena itu, penting dipahami hukum atau sunatullah kekuasaan. Pemimpin
atau penguasa harus tahu diri, memanfaatkan sebaik-baiknya masa
kekuasaan dengan melahirkan prestasi dan kemajuan yang signifikan.
Selain itu, harus tahu kapan berhenti. Disinilah pentingnya exist
strategy yang baik alias husnul khotimah.
Beberapa hal yang harus dilakukan saat berkuasa, yaitu:
1) Optimalisasi kekuasaan
Optimalisasi
dilakukan dalam hal perwujudan visi dan misi, bukan dalam hal mengeruk
sumber daya dan aset organisasi atau negara untuk kepentingan pribadi
dan kelompok. Kuncinya adalah memanfaatkan kekuasaan untuk secara
konsisten mengimplementasikan visi dan misi.
2) Merawat dukungan
Kekuasaan tanpa dukungan akan rapuh. Namun,
jangan lakukan hal ini secara tidak wajar. Jangan membuat blunder,
jangan gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Mesin kekuasaan
memang harus bergerak dan aman bagi penguasa, tetapi harus wajar dan
dijalankan dengan bertanggung jawab sehingga publik akan mengapresiasi.
3) Belajar dari banyak tokoh yang jatuh kekuasaannya.
Ketika berkuasa jangan adigang-adigung-adiguna, alias menyelewengkan kekuasaan dan harus berhubungan dengan hukum. Ingat, kekuasaan bukan tanpa batas. Semua dibatasi hukum. Penggunaan kekuasaan dengan logika aji mumpung sangat berbahaya.
4) Menerapkan exist strategy
Ini
adalah soal bagaimana mengakhiri kekuasaan dengan seksama, tak
meninggalkan kefatalan. Dalam posisi terjepit, hal ini tidaklah mudah.
Pemimpin, kata CollinPowell harus mengetahui kapan harus mundur.
Kadang-kadang mengundurkan diri merupakan tugas terbesar pemimpin. Di
Indonesia kita dapat bercermin dari kasus Soekarno dan Soeharto.
3. Pasca-Berkuasa
Telah dikemukakan di depan bahwa pemimpin yang baik adalah tahu kapan saat lengser alias berhenti. Ia harus tahu betul mengenai sunatullah kekuasaan: kekuasaan itu bergulir.
Kekuasaan
bukanlah segala-galanya. Jalur pengabdian pada masyarakat, bangsa dan
negara tidak terbatas pada jalur politik. Jadilah ”empu” yang
dinanti-nantikan nasihatnya. Pemimpin harus menjadi referensi bijak dan
bapak bangsa. Sebagaimana dikatakan dalam petuah Jawa ini: ojo nggege, ojo rumongso biso, nanging biso ngerumangsani. Jangan merasa sebagai politisi yang sempurna, yang serba bisa, tetapi juga bisa merasa atau tahu diri.
Bagaimana supaya orang tidak terjangkit post-power syndrome?
Dalam kaitan ini, tampaknya kita perlu menyimak kisah yang dipaparkan oleh psikoanalis Carl Gustav Jung berikut:
Seorang
pengusaha Amerika yang semula penuh energi dan semangat berhasil dalam
bisnisnya, berubah menjadi seonggok daging tak berdaya. Badaniah,
ia merasa sakit-sakitan dan rohaniah ia merasa lemah. Karena setelah
dia sukses membangun bisnis dengan segala keuletan dan kegigihan hingga
berhasil. Namun, pada usia Empat puluh lima tahun ia beristirahat dengan
niat untuk menikmati kehidupan. Tetapi baru seminggu melaksanakan
niatnya, ia merasa resah, gelisah, dan dilanda kekhawatiran.
Kemudian
Dia mendatangi seorang spesialis terkenal. Ternyata diagnosanya: fisik
maupun mental sebenarnya tidak apa-apa, karena kekurangan kegiatan.
Maka, sepulangnya dari berkonsultasi itu, ia berusaha untuk bergiat
kembali dalam bisnisnya. Namun, dia malah mengalami keparahan dan tidak
dapat lagi seperti masa lalunya ketika mempimpin bisnis[24]
Itulah gambaran post-power syndrome
alais sindrom pasca-kekuasaan. Sehingga setelah orang berkuasa, maka
pemimpin harus melakukan aktifitas dan kegiatan lain diluar jalur
jabatan dan kekuasaan. Sebagai contoh seperti apa yang dilakukan oleh
mantan Presiden Jimmy Charter. Ia mendirikan lembaga sosial dan
demokratisasi.
F. Kekuasaan dalam Pendidikan
Sesudah
sejak tahun 60-an Bereday mengemukakan mengenai krisis pendidikan di
dunia karena meledaknya tuntutan untuk memperoleh pendidikan dari
negara-negara yang baru merdeka. Pengamatan seorang ahli sosiologi dan
pendidikan sebelum PD II memaparkan bahwa pendidikan akan merupakan
dinamit dalam revolusi kemerdekaan dari negara-negara terjajah. Dewasa
ini pendidikan di negara-negara berkembang mengalami revolusi. Bukan
hanya pendidikan merupakan kewajiban dari pemerintah yang diakui sebagai
salah satu hak asasi manusia tetapi telah merupakan suatu tuntutan dari
setiap negara modern. Kewajiban belajar telah merupakan suatu keputusan
bersama umat manusia (education for all)[25]
dan tuntutan tersebut bukan hanya merupakan tuntutan formal, tetapi
juga tuntutan perubahan yang radikal dari isi dan proses dalam
lembaga-lembaga pendidikan formal tersebut.
Bahkan,
berbagai perubahan di dunia dipelopori oleh perubahan dari lingkungan
pendidikan formal, seperti pemberontakan mahasiswa Prancis tahun 1968
yang mengubah kehidupan politk, sosial, bahkan kebudayaan dari
masayarakat Prancis. Di Indonesia perjuangan kemerdekaan yang dimulai
oleh kaum terpelajar pada tahun 1908 hingga hadirnya kemerdekaan pada
tahun 1945. kita mengenal dengan kepeloporan mahasiswa yang telah
merobek-robek kekuatan diktator, baik pada zaman Orde Lama maupun Orde
Baru. Gerakan pembaharuan mahasiswa telah merubah wajah negara dari
totaliter menuju demokratis. Dalam bidang pendidikan nonformal kita
melihat perubahan wajah dari bentuknya sebagai kursur-kursus yang
berdiri sendiri menjadi lembaga-lembaga pelatihan yang diarahkan pada
pemenuhan kebutuhan tenaga kerja terampil.
Terdapat
kaitan yang erat antara kekuasaan dan pendidikan. Kekuasaan mempunyai
tempat dalam ruang dan proses pendidikan. Justru karena adanya kekuasaan
itulah terjadi proses pendidikan. Proses pendidikan yang sebenarnya
adalah proses pembebasan dengan jalan memberikan peserta didik suatu
kesadaran akan kemampuan kemandirian.
Pengertian
kekuasaan dalam pendidikan ternyata mempunyai konotasi yang berbeda
dengan pengertian kekuasaan sebagaiman kita lihat sehari-hari. Kekuasaan
di dalam pendidikan dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu 1) kekuasaan
yang transformatis; 2) kekuasaan yang berfungsi sebagai transmitif.
Kekuasaan transformatif tujuannya ialah dalam proses terjadinya hubungan
kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang
lain. Kekuasaan yang transformatif bahkan membangkitkan refleksi, dan
refleksi tersebut menimbulkan aksi. Orientasi yang terjadi adalam aksi
tersebut merupakan orientasi yang advokatif.
Sedangkan
proses kekuasan sebagai transmitif terjadi proses tranmisi yang
diinginkan oleh subjek yang memegang kekuasaan terhadap subjek yang
terkena kekuasaan itu sendiri. Orientasi kekuasan ini lebih bersifat
orientasi legitimatif. Dengan demikian, yang terjadi dalam proses
pelaksanaan kekuasaan adalah suatu aksi dari subjek yang bersifat
robotik karena sekedar menerima atau situangkan sesuatu ke dalam bejana
subjek yang bersangkutan. Inilah yang disebut Paulo Freire sebagai
proses sistem bank (banking system). Fakta ini didukung dengan
keberadaan Sistem Pendidikan Nasional yang kita miliki dengan berbagai
intervensi dan rekayasa yang terjadi. Dan yang ada adalah bagaimana
kekuasaan dapat dilanggengkan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hubungan
pemimpin dan kekuasaan adalah ibarat gula dengan manisnya, ibarat garam
dengan asinnya. Dua-duanya tak terpisahkan. Kepemimpinan yang efektif
(effective leadership) terealisasi pada saat seorang pemimpin dengan
kekuasaannya mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang
memuaskan. Ketika kekuasaan ternyata bisa timbul tidak hanya dari satu
sumber, kepemimpinan yang efektif bisa dianalogikan sebagai movement
untuk memanfaatkan genesis (asal usul) kekuasaan, dan menerapkannya pada
tempat yang tepat.
Refleksi
dari kepemimpinan yang efektif, bertanggungjawab, dan terbalutnya
hubungan sinergis antara pemimpin dengan yang dipimpin, adalah makna
filosofis dari nasehat Rasulullah SAW: “Setiap kamu adalah pemimpin, dan
setiap pemimpin bertanggungjawab terhadap pimpinannya, seorang Amir
(kepala negara) adalah pemimpin dan ia bertanggungjawab terhadap
rakyatnya ….” (HR Bukhari & Muslim)
Kekuasaan
sering disalahgunakan, sehingga karakteristinya adalah paradoks.
Kekuasaan sesuatu yang menakjubkan sekaligus sesuatu yang menakutkan.
Sudah banyak contoh pemimpin-pemimpin dunia yang mengakhiri kekuasaannya
dengan cara yang tragis dan fatal. Dimana hal ini dikenal dengan
istilah tragedi sejarah. Dalam konteks itu, patut kiranya juga dalam sikap kritis, kita berpegang pada kebijakan mikul dhuwur, mendhem jero,
tetap menghormati secara sepantasnya dan tetap menghargai kebaikan dan
keberhasilannya terhadap para pemimpin kita dalam menjalankan
kekuasaanya.
Daftar Pustaka
Al Qur’an
Alfian, M. Alfan, “Menjadi Pemimpin Politik” Jakarta: Kompas Gramedia, 2009.
Budiardjo Miriam,” Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan” dalam Miriam Budiardjo (ed), Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan, 1984
Davidson, Alastair,. “Antonio Gramsci” dalam Peter Bailharz (ed), Teori-teori perubahan Sosial, 2002
Feda, Jon dan Nico Ermann, America Undercover, Kupas Tuntas Skandal Seks di Gedung Putih, Jakarta: Rajut Publisher, 2008.
Foucault, Michel Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, Jakarta: YOI, 2008.
Gramsci, Antonio, ”Catatan-catatan Politik” (Terjemahan) Surabaya: Pustaka Promethea, 2001
Hutington Samuel P., dalam Benturan Antar Peradaban. 2005.
http/www.wikipedia.net/2006
Kartha Kusuma, Berlianan, ”Pemimpin Adiluhung; Geneologi Kepemimpinan”. Jakarta, 2007
Konferensi PBB Pertama Education for All diadakan di Yomtien, Thailand, 1990
Magnis Suseno. Franz Kuasa dan Moral, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001
Majalah Tempo edisi 16 dan 17 November 2008, Maya Soetoro-Ng: Keberagaman Membentuk Wataknya”
Robbins, Anthony Unlimited Power (Kuasa Tak terbatas). Kharisma Publishing group, 2005
Satria Wahono Romi, Hubungan Kepemimpinan dan Kekuasaan, 2008
Swantoro, P.,”Post Power Syndrome” dalam P. Swantoro, Masa Lalu Selalu Aktual, Jakarta: Kompas, 2007
Tilaar, H.A.R. Kekuasaan dan Pendidikan; Manajemen pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan. Jakarta: Rineka Cipta, 2009
Westwood Sallie, Power and The Social, London and New York: Routledge, 2002
Wirawan, Kapita Selekta Kepemimpinan, Pengantar untuk Praktek dan Penelitian, Jakarta: Yayasan Bangun Indonesia dan UHAMKA, 2003.
[1] H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan; Manajemen pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan. Jakarta: Rineka Cipta, 2009., p141.
[2] Baca, Samuel P. Hutington, dalam Benturan Antar Peradaban. 2005.
[3] Lihat Majalah Tempo edisi 16 November 2008, Maya Soetoro-Ng: Keberagaman Membentuk Wataknya”
[4] Lihat juga, Majalah Time, edisi 17 November 2008.
[5] Lihat, Catatan Jakob Oetama, 2009.
[6] Baca, Berlianan Karta Kusuma ”Pemimpin Adiluhung; Geneologi Kepemimpinan”. Jakarta, 2007.
[7] Lihat http/www.wikipedia.net/2006
[8] Ibid, hal 136
[9] Baca Miriam Budiardjo,” Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan” dalam Miriam Budiardjo (ed), Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
[10] Sallie Westwood, Power and The Social, London and New York: Routledge, 2002.
[11].Antonio Gramsci, Catatan-catatan Politik (Terjemahan) Surabaya: Pustaka Promethea, 2001
[12] Lihat, Alastair Davidson, “Antonio Gramsci” dalam Peter Bailharz (ed), Teori-teori perubahan Sosial, 2002
[13] Baca Wirawan, Kapita Selekta Kepemimpinan, Pengantar untuk Praktek dan Penelitian, Jakarta: Yayasan Bangun Indonesia dan UHAMKA, 2003.
[14] Michel Foucault, Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, Jakarta: YOI, 2008.
[15] Baca Romi Satria Wahono, Hubungan Kepemimpinan dan Kekuasaan, 2008
[16] Ibid, oc
[17] Ibid, 1
[18] Ibid, 2
[19] Ibid, 2
[20] Franz magnis Suseno. 2001. Kuasa dan Moral, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, p1
[21] Anthony Robbins, Unlimited Power (Kuasa Tak terbatas). Kharisma Publishing group. 2005
[22] Jon Feda dan Nico Ermann, America Undercover, Kupas Tuntas Skandal Seks di Gedung Putih, Jakarta: Rajut Publisher, 2008.
[23]
Lihat Q.S. Al Baqarah ayat 30 “Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman
kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi”. Mereka berkata, “ Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”
[24] P. Swantoro, ”Post Power Syndrome” dalam P. Swantoro, Masa Lalu Selalu Aktual, Jakarta: Kompas, 2007, hal 27.
[25] Konferensi PBB Pertama Education for All diadakan di Yomtien, Thailand, 1990.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar