Rabu, 18 Juni 2014

Hope you like it



Cerpen
Rinai
Oleh: Z. Okta

15 Juli 2006
Bel usai pelajaran sudah berakhir dua jam yang lalu. Seluruh kelas mulai beranjak sepi. "Liz, mau pulang bareng?"  ah, Soni. "Aku sedang menunggu teman. Aku mau mengerjakan tugas Pak Darmo bersama dia". Soni tersenyum. "Baiklah, Liz". Soni tersenyum lalu pergi. Kini seisi kelas sudah sepi. Tapi inilah yang Liz butuhkan. Kesendirian. Lalu ia akan menghirup panjang udara sepi itu, berusaha menyatu dengan apapun yang ada di hadapannya. Ia bisa merasakan pasir pasir yang kesepian sama sepertinya, dan angin tipis yang menyapa di kejauhan.
Perasaan yang disampaikan segala yang disimpan alam membuatnya mengerti. Hingga ia akhirnya merasakan butir butir halus air mata mengalir di pipinya. Semakin lama, gelombang itu semakin besar. Tak lagi bisa ia sembunyikan. Hanya dalam kesunyian inilah, ia bisa dengan jujur mengungkapkan dirinya yang kalah.
                              ©©©
            Aku melihatmu pulang paling terakhir, Liz. Dan aku melihat matamu merah. Apa kau menangis lagi? Apa kau tidak percaya lagi padaku sebagai teman untuk berbagi?
Liz bimbang. Entah harus membalas apa pesan Azam barusan.
            Maaf Zam. Aku hanya sedang butuh sendiri. Dengan penuh hati hati, Liz pun membalas nya. Baiklah, Liz. Kau tahu harus mencariku kemana bukan?
Ya, terima kasih.
                             ©©©
17 Juli 2006
            Semua mata yang dilihatnya sebagai teman tidak lagi menunjukkan aroma persahabatan. Dalam sekejap, mereka telah berubah menjadi duri tajam yang menusuk. "Dia payah. Waktu Kak Rosa yang memegang management nya, ekstrakulikuler kita tidak pernah kalah".
"Lagipula kalau bukan dekat dengan Kak Lukman, dia tidak akan menjadi pengurus ekstrakulikuler kita. Aku membencinya". 
           Liz berusaha meyakinkan diri bahwa semua akan baik baik saja. Ia mendengar kalimat itu, tapi ia tidak akan mempedulikannya. Dan kekalahan adalah hal yang biasa. Tapi, demi melihat wajah wajah yang kemudian seakan menyerangnya dengan tombak tombak es, Ia pun segera pergi. Menjauh. Lagi.
            "Aduh".. Liz menengadah. Mencoba melihat siapa orang yang tidak sengaja ia tabrak. "Maaf, aku sedang terburu buru".
Tapi ia segera berlari. Menjauh lagi. Entah untuk berapa lama. "Liz !!" Liz tidak mendengarnya, tepatnya tidak mau mendengarnya.
"Dia kenapa Zam? Sikap nya berubah". Azam mengangkat bahu. "Aku, tidak tahu".
                            ©©©
            15 Agustus 2006
"Liz, aku mau kau saja yang membuat jadwal kegiatan tujuh belasan kita nanti". "Baik".
"Dan, Ajeng yang akan memperhitungkan semua biaya kita dari yang terkecil sampai yang terbesar. Proposal nya akan segera ku buat dalam 2 hari. Semakin cepat data yang ku dapat, semakin cepat proposal ini ku ajukan kepada kepala sekolah. Pak Yudhi sudah menanyakannya pada Bagian Kurikulum sekolah kita kemarin".  "Zam, biar aku saja yang membuat jadwal. Sepertinya Liz sedang tidak konsentrasi sejak tadi". Sahnaz memotong. Azam menatapnya datar. Khas nya.
"Apa benar? Tapi aku percaya dia selalu bisa diandalkan, Naz". Liz murung. Lalu ia mengangkat ponselnya. Sebuah telepon. "Oh iya baik. Aku pulang sekarang". Liz menatap semua temannya yang ada di ruangan. Namun ia memilih menghindar dari tatapan Azam. Ia mencoba bicara sambil tersenyum, "Iya maaf aku sedang memikirkan adikku. Ibuku bilang ia terluka karena terjatuh saat pulang sekolah. Aku akan segera pulang untuk melihatnya. Setelah tahu dia baik baik saja, aku pasti sudah akan bisa berpikir dengan baik".
Azam hanya mengangguk saat Liz pamit padanya. Ia bisa membohongi semua orang di dalam ruangan itu, kecuali Azam.
                            ©©©
            Liz. Katakan padaku sebenarnya ada apa? Kau anak satu satunya. Kau tau kau tidak mungkin membohongiku. Apa kau bermaksud menghindariku ?
Aku bukan ingin menghindarimu, Zam. Hanya saja, aku sangat sulit mengatakannya. Jerit Liz dalam hati.
                           ©©©
            20 April 2006
Liz baru ingat, hari ini ulang tahun Azam, temannya. Lebih tepatnya, teman dekatnya. Orang yang selalu ia percaya. Pelindungnya, penjaganya, sahabatnya. Kali ini Liz ingin memberinya ucapan selamat di akun twitter nya pada Azam. Yang di tulisnya hanyalah kalimat ucapan selamat ulang tahun sederhana, namun ia sungguh sungguh mendoakannya setiap malam ketika ia terjaga. Kemudian ia melihat tulisan itu. Ucapan selamat yang paling istimewa dari seseorang, yang ia kenali sebagai masa lalu Azam. Yang juga teman baiknya. Rana.
"Selamat ulang tahun, Azam. Semoga kau panjang umur dan sehat selalu. Selalu menjadi orang yang ku cintai dan mencintaiku. Selamanya".
Mati matian Liz menjaga agar jantung nya tetap berdetak. Sesaat, ia merasa tak bisa bernafas. "Mungkinkah, Azam masih mencintai Rana?"
                           ©©©
            Sejak saat itu Liz ragu jika bertemu Azam. Selama ini mereka berteman baik. Rana dan Liz adalah teman di bangku sekolah yang sama saat menengah pertama. Ia tahu persis saat mereka berdua jatuh cinta, saling berkirim surat. Kadang Rana membacakannya di depan Liz. Ia tahu, mereka berdua pasangan yang sangat serasi. Namun setelah lulus, Liz tidak lagi melihat keduanya sedekat saat SMP. Azam pun jarang terlihat berjalan dengan Rana. Liz kemudian mengerti ketika Rana mengatakan dalam akunnya bahwa mereka telah berpisah.
            Suatu ketika, Liz merasa semua nya tak lagi sama. Perasaan itu, hadir tanpa diminta.
                           ©©©
            21 Oktober 2005
            Liz baru datang saat itu. Terburu buru akan masuk kelas ketika bel sudah mulai berdentang. Ia menabrak seseorang. "Ah maaf". Azam.
"Akhirnya aku menemukanmu". Ia terengah. Berkeringat. Berlari lari di saat jam masuk kelas dimulai? "Kau mencariku? Ada apa?" Azam berusaha menguasai diri. Ia menegakkan diri, dan memulai kalimat yang sepertinya sudah di hafalnya jauh jauh hari. "Aku Cuma mau memberimu ini. Selamat ulang tahun". Azam mengeluarkan sebuah kotak musik kecil berwarna merah muda. Liz hanya terpaku.
            "Kalian. Kenapa disini? Masuk kedalam kelas. Bu Susi sudah bersiap siap".
Guru BP kami, Pak Zul, seperti biasa akan memeriksa seluruh sekolah apakah ada yang terlambat atau tidak.
            "Ayo cepat masuk. Simpan dalam tasmu, nanti ketahuan" Azam menggandeng tangan Liz. Berlari. Hari itu, Liz merasa bahagia. Dia yang pertama mengucapkannya.
                           ©©©
            13 Juli 2006
            Hari ini adalah hari penentuan. Seluruh sekolah se jakarta timur bertemu. Hanya yang terbaik tentunya. Itu pula yang diharapkan Kepala sekolah saat melepas rombongan Liz. Dua tahun berturut turut, sekolah Liz selalu mendapat juara dalam perlombaan ini. Liz gugup.
            Kemudian Liz melihatnya. Gadis yang seumuran dengannya. Dengan seragam royal blue nya. "Rana,"
Kabar baiknya, mereka saling melepas rindu. Kabar buruknya, mereka akan saling mengalahkan.
                                                                                                       ©©©
            "Sepertinya kami akan berbaikan kembali, Liz". "Maksudmu?"
"Aku dan Azam. Aku masih menyayanginya. Dan sepertinya ia juga sama". "Oh" hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutnya.
            "Nah Liz. Lebih baik kita kembali ke ruangan. Waktu istirahat sudah habis. Selanjutnya, aku akan melawan sekolahmu ya?" Liz mengangguk. Jantungnya berdegup begitu cepat seakan ada badai dalam hatinya.
                                                                                     ©©©
            "Kelebihan alat yang kami ciptakan ini adalah alat ini kami desain sesederhana mungkin agar bisa digunakan dimana saja, kapan saja, oleh siapa saja. Pemutih yang disimpan dalam botol ini akan menyerap cahaya matahari dalam jumlah banyak saat siang hari. Sehingga saat malam hari, kita seakan menggunakan lampu pijar yang besarnya hingga 500 volt. Sudah jelas kita akan menghemat biaya listrik dengan cara ini. Terutama bagi masyarakat yang ada di pinggir kota, yang atap rumahnya masih menggunakan seng"
            Liz dan timnya mendapat nilai 70 dari 100 nilai yang di harapkan. Sesi selanjutnya adalah tanya jawab. Siswa dari sekolah dengan seragam royal blue itu menjadi penanya pertama. "Sepertinya kami sudah pernah melihat alat yang sama dengan cara kerja yang tidak jauh berbeda dan hasil yang jauh lebih baik. Apakah kalian mengambil dari alat yang sudah pernah diciptakan orang lain?" "Tentu saja tidak. Ini adalah alat yang murni berasal dari pemikiran kami.² "Tapi, bagaimana kalian menjelaskan tentang artikel ini?" cecar mereka.
            Ia menunjukkan pada tim Liz sebuah artikel yang di dalamnya menjelaskan tentang alat yang sangat mirip dengan yang Liz buat. Liz membaca baik baik artikel itu. Mereka terancam di diskualifikasi karena melakukan plagiat. Juga kehabisan waktu Tanya jawab. "Maaf sebelumnya, tapi saya sebagai ketua tim ini bisa menjamin bahwa tim kami tidak sama sekali melakukan plagiat atau mencontek dari manapun. Sehingga kami berani membawa alat ini ke perlombaan ini." Lagi, Azam membela.
            Akhirnya tim Liz tidak di diskualifikasi, hanya saja nilainya dikurangi 10. Mereka menjadi termasuk ke dalam 5 terbawah. "Tenang, sekalipun kita kalah, aku tetap percaya kalian telah melakukan yang terbaik."
©©©
            Nilai dan peringkat pun diumumkan. Tapi, "kita bahkan tidak mendapat peringkat ke tiga." "Sudahlah. Ayo kita bersiap. Kita akan ciptakan lagi penemuan yang baru dan lebih baik dari ini, dan dari mereka semua". Liz tersenyum. Hampa. Baginya, kepercayaan kepala sekolah adalah segala nya, dan sekarang ia kalah. Ia tidak bisa memberikan piala di tahun ini sejak dua tahun kejayaan sekolah mereka.
            "Perlombaan Karya Ilmiah Remaja tahun ini diraih oleh SMA Negeri 01 dengan alat pengubah minyak jelantah menjadi bahan bakar diesel." Rana memenangkannya. Sekolah berseragam royal blue itu.
©©©
            "Hai Azam. Lihat. Sesuai janjiku, aku berhasil memenangkan piala ini". Rana menghampiri Azam yang sedang bersiap pulang. Keduanya bicara dengan rona malu malu. Liz hanya melihatnya dari kejauhan. Tapi sudah cukup membuatnya pecah berkeping keping. "Ayo cepat. Lebih baik kita segera pulang. Sebentar lagi hujan". "Tunggu Azam dulu, Liz. Azam ayo cepat. Sebentar lagi hujan".
©©©
            15 Juli 2014
Hai, selamat bertemu lagi. Aku sudah lama menghindarimu..
Sungguh tak mudah bagiku. Rasanya tak ingin bernafas lagi,
tegak berdiri di depan mu kini .Melawan cinta yang ada di hati
 pergilah, menghilang sajalah lagi.
Bye
Selamat berpisah lagi, meski masih ingin memandangimu lagi.
Tapi lebih baik kau tak disini.
Berkali kali kau berkata, tak bisa.
Berkali kali ku tlah berjanji menyerah.
pergilah, menghilang sajalah lagi.
(Maudy Ayunda, Tahu Diri)
©©©
            20 April 2014
            Masih banyak tugas yang ia harus selesaikan. Salah satunya mencari tema yang sesuai dengan project yang sedang di kerjakannya. Setelah makan siang, ia harus sudah mendapatkan ide untuk ia presentasikan. Ia akan mencarinya di internet. Isi internet yang bermacam macam, membuat nya bisa mendapatkan ide yang bagus seperti project sebelumnya.
            "Liz. Ada yang mau bertemu". "Suruh masuk, San".
Tapi seingatnya, tak ada jadwal bertemu siapapun hari ini.
"Hai Liz". suara itu menyapa.
Liz hendak menjawab sapaan itu ketika orang itu masuk dalam ruangannya. Tapi urung. "Astaga, Azam". "Kenapa? Kau hampir tidak mengenaliku lagi ya?" Liz menggeleng. Ia tidak tahu bagaimana caranya Azam bisa menemukannya sampai kesini, ke kantornya. Ia sudah begitu jauh dari dunia nya dulu.  
"Aku sengaja ingin mengajak mu keluar, makan siang bersama". Liz melongo. Orang ini pasti sudah gila, berani beraninya masuk ke kandang macan dan membangunkan macan yang sedang tidur, katanya dalam hati.
©©©
            "Saya mengangkat tema hujan untuk kali ini, Pak. Saya terinspirasi dari sebuah lagu yang selalu menemani saya saat sedang galau. Saya pasti mendengarkan lagu ini. Lagu yang menceritakan tentang seorang gadis yang selalu menyukai hujan karena hujan pernah membuatnya merasa bahagia. Ia bertemu dengan orang yang di cintainya saat hujan menutupi pandangan mata dengan air yang mengalir deras. Tapi hujan yang saya akan sajikan disini adalah rinai hujan. hujan yang tidak terlalu deras, rinai yang sejuk, yang membuat langit sore terlihat lebih indah. Rinai yang membuat kita berharap semoga langit akan segera cerah".
            "Liz, saya melihat judul yang sama dengan tema ini di tema puisi pilihan majalah kita bulan lalu dan puisi kamu jadi pemenangnya. Kalau saya perhatikan, ini tentang seseorang ya?" Liz mendadak bungkam.
            Seisi ruangan menjadi ramai. "pasti yang kemarin datang kesini." Sandy ikut meledeknya. Liz berusaha mengendalikan diri, lalu berbicara lagi pada rapatnya.
"Rinai adalah harapan yang selalu saya panjatkan. Bahwa sederas apapun hujan yang turun, pasti kemudian menyisakan rinai yang halus. Yang membuat kita berani melangkahkan kaki lagi meskipun jalanan dipenuhi genangan air. Yang membuat kita berani berharap bahwa setelah ini hujan tak akan turun lagi. Dan esok akan lebih cerah". Kepala Redaksi sepertinya menyukai tema yang Liz ajukan. Project pun di laksanakan. Lagi, Liz menjadi Head Project kali ini.
©©©
            "Aku tak pernah melihatmu lagi setelah hari itu, Liz. Kau hilang ditelan bumi". Liz tersenyum. Ia tak punya alasan apapun. Sejak lulus sekolah, ia memang memilih bersembunyi. "Jadi, kau ada apa mencariku Zam?"
"Kau, sejak kapan jadi begitu to the point Liz?"
Lagi, Liz tertawa. "Everybody changes, Zam." "Iya, aku bisa melihatnya. Kau sudah lebih baik sekarang. Kau jauh lebih dewasa dan tahu apa yang kau inginkan."
Dulu, selalu kau yang menjadi pembela ku. Selalu kau yang ada di sampingku ketika aku merasa kalah. Kemudian menguatkanku. Liz hanya mengatakannya dalam hati. "Aku belajar darimu, Zam."
Kali ini Azam yang tertawa. "Hari ini adalah hari ulang tahunku, Liz. Kau bahkan tidak mengucapkan selamat untukku." "Benarkah ? Maaf, selamat ulang tahun ya." "Datanglah." Azam mengeluarkan sebuah undangan kecil berwarna merah marun yang diikat pita. "Kalau kau tidak datang, aku tidak akan memaafkanmu." Pipi Liz menjadi merah muda. Merona karena malu. Ia pasti akan datang. Tentu saja, jawabnya dalam hati.
©©©
              21 Oktober 2014
Hari ini adalah hari yang bersejarah bagi Liz. Rana akan menikah. Dengan pria yang ia cintai tentu saja. Ia merasa amat gugup. Ia memang terlalu mencemaskan banyak hal. Hal lain yang membuatnya cemas adalah ia akan menjadi saksi pernikahan Rana. Tentu saja bukan hal mudah. Ia gugup saat membayangkan pengantin prianya.
            "Kau pasti sedang gugup." Liz tidak menjawab. Tentu saja. Bukankah terlihat dari tangannya yang gemetar dan wajahnya yang pucat? Azam menggenggam tangan Liz. "Kau ini, acara istimewa begini saja membuatmu cemas. Harusnya kau ikut bahagia. Sahabat kita akan menyusul kita hari ini. Kau ini. Harusnya berdoa yang baik baik."
            Liz tidak bisa bicara lagi, ia hanya menatap ke kedua mata itu. Seketika itu pula ia merasa kesejukan. "Iya. Kau benar. Aku akan bersiap."
Seperti rinai hujan, aku selalu merasakan kesejukan saat bersamamu.
Tak lagi ada ragu ketika ku langkahkan kaki saat aku menggenggam tanganmu
Selama ini aku berlari, menghindar
Tapi kau kemudian kembali menemukanku
                                               
                                                                        THE END

Wait for a comment



Cerpen
A Hug For A Love
Oleh : Z. Okta

            Aku menatap wajah cantik itu. Bibir nya yang halus. Matanya yang tidak terlalu sipit juga tidak terlalu lebar. Tulang pipinya yang ramping. Dagu yang kecil. Dan bola mata coklat yang hangat. "Champagne, please"
"Sejak kapan kau minum itu, Clara?" Heran. Cepat sekali pelayanan di bar ini. Aku mengambil gelas ketiga nya. Sebelum ia menghabiskannya lagi. "You’d be drunk, Clara"
            "Apa pedulimu? Satu jam, oh tidak. Lima menit setelah kita berpisah nanti saja, kau pasti sudah berjalan lagi dengan wanita yang baru kau temui di jalan. Jadi jangan pedulikan aku. Kau, urus saja hidupmu sendiri."
            "Clara, aku sudah menjelaskan padamu alasannya. Aku tidak suka terikat."
"Itu hanya alasan konyol mu." Aku menggenggam tangan nya dan berusaha mengatakan sesuatu tapi tidak bisa. Tidak akan bisa. Ia sudah pergi meninggalkanku.
©©©
            Aku datang  15 menit lebih awal dari jam perjanjian yang kami jadwalkan. Pukul 11 siang di sebuah café dengan suasana yang mirip sekali dengan suasana pantai di Bali ini. Cozy, hangat dan elegan. Saat ini Swiss Army ku menunjukkan pukul 10.45. Aku teringat percakapan kami dua hari yang lalu di telepon.
"Oh hai Andrew. Ada apa mencariku? Apa kau berubah pikiran dan mulai menyesal karena mencapakkanku?" Ia mencecar dan membuat ku harus berbasa basi. Ia berhasil memojokkanku.
            "Aku butuh bantuanmu, Jessie."
            Sesaat tidak terdengar suara apapun.
            "Aku sedang sibuk, Andrew sayang. Tolong jangan buang waktuku dengan bualanmu yang sudah sering ku dengar itu. Aku sudah pernah mendengar nya dulu. Dulu sekali."
            "Aku serius, Jess. Aku sangat membutuhkan bantuanmu."
"Baiklah kalau kau memaksa. Pukul 11 di tempat biasa. Ingat Andrew. Pukul 11. Jika kau datang terlambat seperti biasa, akan ku pastikan kau menyesal."
Telepon ditutup. 
            Jessie juga salah satu teman wanitaku. Kami sering berjalan bersama. Tapi, tak ada ikatan khusus diantara kami. Dengan teman wanita ku yang lain pun sama. Aku memang tidak menginginkan sebuah ikatan yang serius. Aku masih ingin menikmati kebebasanku. Tapi kenapa aku selalu dianggap playboy?
                                                                                    ©©©
            Penerbangan menuju Bali berjalan lancar. Bandara nya selalu penuh. Jessie sudah mengatur semuanya. Ia seseorang yang professional. Terbiasa menyiapkan banyak hal detail dalam waktu singkat.
"Kau tidak perlu memikirkan apapun. Aku akan menanggung semua keperluanmu selama disana." aku tak perlu meragukannya. Ia memang orang yang sangat bisa diandalkan.
  
          "Kau pasti Andrew." Ia mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Kelihatannya ia sudah lama menungguku. "Ayo ikut aku. Selama kau tinggal disini, aku akan menjadi pemandumu." Ia tersenyum.  Senyuman paling tulus yang pernah ku lihat. Aku tersihir. Aku melihat banyak hal yang tak pernah ku lihat pada gadis manapun saat melihatnya. Ia berbeda.
            "Jessie sudah bicara denganku. Selama kau disini, kau akan tinggal denganku. Aku punya satu kamar kosong yang masih rapi." Ia tersenyum. Lesung pipinya  membuatku mati gaya. Ia manis sekali.

             "Ingat, Andrew. Kau tidak boleh jatuh cinta padanya." Uh sial. Kalimat itu lagi.
"Hei, ada apa? Kau melamun." Aku mengerjap. Ia benar. Aku melamun.  
"Maaf, kau belum menyebutkan namamu." Bola matanya membesar. "Benarkah? Maaf aku terlalu senang mendapat teman baru. Namaku Susan" Ia tersenyum lagi. Hatiku menciut. ”Oh, salam kenal, Susan.“
                                                                                    ©©©
             "Ingat, Andrew. Kau hanya bertugas menemaninya. Nama nya Susan. Sesuai kontrak. Jika kau melanggar aturan yang ku buat, aku tidak akan membayarmu. Satu rupiah pun. Aku tidak peduli dengan tagihan tempat tinggalmu atau biaya bulananmu yang  menumpuk. Kalau kau tidak mematuhi aturan, kau akan menyesal."
            Ya, aku ingat Jess.
            Ini memang salahku. Aku mengambil keputusan terlalu terburu buru hingga muncullah semua kebodohan ini. Aku kehilangan pekerjaan, tagihan listrik, telepon, dan biaya hidup tiga bulan terakhir ini berantakan. Ku pikir aku bisa percaya pada Trista. Ia orang yang ku percaya untuk mengurus bisnis ku. Aku terlanjur percaya pada laporannya bahwa keuntunganku melonjak tiga kali lipat dan aku segera memutuskan untuk mengundurkan diri. Tapi ternyata, semua nya palsu. Yang ada justru pengeluaran yang membengkak, dan keuntungan nol persen. Aku bangkrut.
            Dan Jessie, adalah satu satunya orang yang bisa ku percaya untuk membantuku. Ia memberiku pekerjaan paruh waktu ini. A Hug Service.
Aku memang pernah mendengar pekerjaan ini, tapi aku tidak menyangka Jessie akan memberiku pekerjaan ini. Aku bahkan tidak tahu apa aku bisa memeluk orang yang sama sekali tidak ku kenal. Sekaligus menghiburnya. Menjadi temannya. Di Jepang, semacam penyewaan teman untuk kencan.
            "Hai Andrew. Kau mau makan malam bersamaku?
            Entah, tapi akan ku coba. "Tentu saja, Susan."
                                                                                    ©©©
            Dia seorang model yang sangat cantik dan bersemangat. Selain yoga, ia juga mengikuti olahraga aikido. Aku tahu banyak hal tentang nya dari Jessie. Aku pernah melihat foto Susan yang tengah yoga dengan satu tangan di lantai sedangkan anggota tubuh nya terangkat ke atas. Sempurna lurus. Lalu fotonya yang lain saat sedang ikut dalam kejuaraan aikido bersama senior nya. Tapi ada sesuatu yang membuatku bingung. Kenapa Jessie mengirimku ke tempatnya? Ia terlihat baik baik saja. Sama sekali tak terlihat ada masalah apapun. Ia terlihat, bahagia. Kadang, malah ia yang menghiburku dengan senyum nya yang hangat atau sup panas nya yang nikmat.
©©©
            "Arrrghhh... Penjahat... Arrrgggghhhh....."
Hum? Penjahat? Disini?
"Siapa kau?" Sergapnya. Ia mengacungkan stik golf ke arahku. Dari mana ia mendapat benda itu? "Jawab aku, penjahat. Dari mana kau masuk?" Apa? Barusan dia memanggilku penjahat? Apakah wajahku berubah jadi seperti orang jahat? "Aku Andrew, Susan. Dan kita berteman. Kau mengizinkan ku tinggal disini, bersamamu." Matanya lagi lagi melotot lebar seakan melihat penjahat kelas kakap di rumahnya. Ia bahkan masih mengacungkan stik golf itu padaku.
"Aku sama sekali tidak ingat. Yang aku tahu, tidak ada penjahat yang jujur.  Sebaiknya kau jelaskan saja di kantor polisi."
            "Apa?"
            Terdengar suara mobil polisi di bawah sana. Ada apa ini? Kenapa dia…..
©©©
            "Jadi, dia memiliki gangguan jiwa?" Dengan malas aku menanggapi Jessie yang berbicara di telepon. Kenapa ia tidak menjelaskannya sejak awal? "Bukan, Andrew. Hanya semacam masalah kepribadian. Dia trauma. Dia jadi orang yang ku kenal di beberapa waktu dan kemudian menjadi orang lain di waktu yang lain. Sesuatu telah terjadi padanya bertahun tahun yang lalu. Kurasa sampai saat ini pun dia belum benar benar sembuh.  Karena itulah aku mengirim mu padanya, Andrew."
            "Trauma pada apa, kenapa dan bagaimana itu bisa terjadi Jess?" Jess tidak menjawab. Pulsaku habis. Kepalaku berdenyut.
            "Kau benar tidak apa apa, Andrew ? Aku mengkhawatirkanmu."
"Aku tidak apa apa Susan." Hanya sedikit takut saat membayangkan kau memukulku dengan stik golf saat aku baru bangun dari tidur ku pagi tadi. Ternyata gadis ini mengerikan.
©©©
            Sungguh sulit menanganinya. Aku bisa mengenalinya dengan baik saat ia adalah Susan. Namun saat ia menjadi Susan yang lain, aku bingung harus bagaimana. Aku memanggilnya Clarissa. Berbeda sekali dengan Susan yang ceria dan selalu tersenyum. Kami berbagi cerita. Aku melihatnya selalu tersenyum bahagia. Seakan tak ada satu pun masalah atau cerita masa lalu yang menyakiti nya. Tapi Clarissa, begitu tertutup. Aku pernah melihatnya minum sebotol bir dan bahkan ia menghisap rokok. Sesekali ku lihat ia menangis seorang diri. Ia benar benar terlihat frustasi. Di saat itulah, aku ingin membuatnya merasa nyaman dan membagi masalahnya denganku. Tapi ia selalu menghindar dan menatap ku dengan pandangan dingin yang menusuk. Siapapun orang yang sudah membuatnya seperti ini, aku pasti akan menghajarnya.
©©©
            "Ini karena pria itu. Namanya Zack. Susan memergoki ia berkencan dengan wanita lain dua hari sebelum upacara pernikahan mereka berlangsung. Zack mengajak wanita itu ke hotel."
 "Tapi wanita lain itu adalah teman Susan. Teman yang sangat baik. Tepatnya, dia teman baik kami. Namanya Trista. Ia langsung melabrak Zack dan Trista. Tanpa sadar ia menampar Trista. Tapi Zack malah melindungi Trista. Zack dan Susan beradu mulut. Kemudian Zack meninggalkan Susan begitu saja. Susan yang sedang kacau berjalan tanpa arah. Kemudian Ia tertabrak sebuah mobil yang berjalan kencang saat ia berniat mengejar Zack. Saat hampir pingsan, ia memanggil Zack. Berharap Zack menolong nya. Tapi Zack tidak peduli. Ia terus meninggalkan Susan yang tengah sekarat."
            Susan mengalami koma panjang dan shock. Ia juga tidak mengingat siapapun. Bahkan keluarga nya. "Ia juga tak mengenaliku, Andrew. Adiknya. Ia tidak mengenali keluarganya sama sekali."
            Meskipun hanya lewat telepon, aku bisa merasakan Jess si perfeksionis menangis. Sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
            "Kau gila Jess, kenapa kau mengirimkan ku padanya? Ia hampir melukaiku. Kau bermaksud balas dendam padaku?" "Tadinya. Maafkan aku Andrew. Tapi entah kenapa aku merasa yakin kau bisa membuatnya lebih baik. Kau orang yang tegar, menurutku. Kau juga penyayang. Karena itulah aku menyukaimu. Tapi kau selalu menganggapku hanya sebatas teman. Dan apa yang kau bilang soal sebuah ikatan? Tak ingin terikat? Itu konyol. Tapi aku percaya kau bisa membuat Susan menjadi lebih baik. Sebelumnya ia bisa lebih parah dari ini."
            "Tunggu. Kau bilang wanita yang bersama Zack itu bernama Trista? Sepertinya aku mengenalnya." Lebih parahnya, dia sekretarisku. Damn.
 "Ya. Itu dia." Baiklah, ada satu hal lagi yang harus ku bereskan.
                                                                        ©©©
            Sudah lima belas menit aku berdiri di depan rumah Susan. Tapi tak ada jawaban. "Hei, kau teman Susan kan?" Seorang perempuan yang kira kira sebaya dengan Susan bertanya padaku. Mungkin teman kerja Susan, atau mungkin tetangganya saja. Di daerah ini, Susan memiliki banyak sekali teman. Laki laki ataupun perempuan. Tapi setelah kejadian yang membuat Susan shock itu, kabarnya ia cenderung menutup diri.
            "Kemana dia? Kami sudah berjanji akan ke Gilimanuk sore ini tapi ku telepon tidak diangkat. Aku baru saja mau ke rumahnya. Kebetulan kau datang" Aneh juga. Susan harusnya tidak memiliki jadwal bepergian hari ini, kecuali bersama gadis tadi. Aku melihat di jadwal yang ia buat.
Perasaanku menjadi tidak enak. Saat masuk, aku melihat sebotol obat yang ku kenal sebagai obat tidur berdosis tinggi di atas meja. Jantungku seperti berhenti berdetak. Aku segera mencari ke kamar tidur dan kamar mandi. Aku benar benar berhenti bernafas saat melihat Susan di kamar mandi dalam keadaan tak sadarkan diri. Air yang meluap, mulutnya berbusa. Kulitnya pucat. Sekujur tubuhnya dingin. Dan ia memakai kaos singlet yang sangat tipis. Ia sudah tak sadarkan diri berjam jam lalu.  
            Aku segera mengangkat nya dari bath tub. Meletakkannya di sofa. Mengeringkan tubuhnya. Lalu menyelimutinya dengan selimut tebal. "Tolong Tuhan, tolong jangan biarkan dia mati."
Aku segera menelepon rumah sakit. Meminta ambulance. "Secepatnya, Nona. Kalau tidak, istriku bisa mati."
                                                                                    ©©©
            Jessie datang lebih cepat dari yang ku bayangkan. Dalam sekejap semua masalah administrasi rumah sakit tuntas olehnya. Ternyata saat berbicara padaku di telepon tadi ia sudah bersiap menuju kemari. Ke Bali. Syukurlah. "Aku tidak menyangka ini akan terjadi pada Susan, Jess. Begitu aku tiba di rumah, aku menemukannya dalam keadaan sudah tidak sadarkan diri. Dan aku menemukan ini." Ia membenamkan wajah di kedua telapak tangannya begitu melihat apa yang ku bawa. "Ini obat tidur dengan dosis tinggi, Andrew. Dia overdosis." Jess menjerit kalut. Tangis nya pecah di dadaku.  
            Aku memeluknya. Aku mengerti perasaan ini. Rasa kehilangan ini. Perasaan takut kehilangan orang yang kita cintai. Kini aku bisa merasakannya. "Baiklah, Andrew. Tugas mu sudah selesai." Jess melepaskan pelukanku. "Apa maksudmu?"  
"Kami akan membawanya ke Jerman, Andrew. Kami menemukan tempat terapi terbaik di sana. Secepatnya kami akan membawanya pergi. Kau tidak akan bertemu dengannya lagi." Ia menghapus air mata di pipinya. Berusaha kuat untuk mengakhiri kalimatnya.
            "Tapi aku merasa bahwa aku mencintainya, Jess." Aku merasa tak ada sedikit pun ragu saat mengatakannya. Jessie terlihat seperti sudah mengetahuinya sejak awal. "Kau sudah ku ingatkan untuk tidak jatuh cinta padanya, Andrew. Kau sudah tahu konsekuensi nya. Oh ya, aku sudah mentransfer sejumlah uang ke ATM mu. Karena tugas mu sudah selesai, kau boleh pergi sekarang. Terima kasih, Andrew. Kau sudah menjaganya dengan cukup baik."
Ia segera masuk ke dalam ruangan Susan dirawat saat dokter yang merawat Susan mengizinkannya masuk. Rasa hampa begitu cepat mengaliri syarafku. Tapi ini bukan masalah uang, Jess. Aku tidak akan menyakitinya, aku berjanji.
            "Aku pasti akan menemukanmu lagi, Susan. Dan jatuh cinta lagi padamu."
                                                                                    ©©©
             Tak terasa dua tahun telah berlalu.
Aku mendapat kabar bahwa Susan sedang berada di Aussie. Ia mengambil kursus disana. Sepertinya ia sudah menemukan kembali dirinya. Dan tentang aku, aku sudah mendapatkan kembali bisnis ku. Aku berjuang keras memperbaiki kekacauan yang di lakukan oleh sekretaris ku, Trista. Aku melaporkannya ke kepolisian atas tuduhan penggelapan uang. Ternyata selama ia mengurus bisnisku, ia banyak menggelapkan uang untuk bisa bersenang senang dengan Zack. Pacar gelapnya. Lalu, setelah itu mereka pergi ke luar negeri. Tapi kepolisian sudah mengurus mereka. Ia tak akan bisa lari lagi. Pria itu juga. Pria yang telah membuat Susan tersiksa.  
©©©
Dia ada di sini. Di Jakarta. Tapi jakarta adalah tempat yang luas. Dimana aku harus memulai untuk mencarinya? "Dengar, Andrew. Hanya ini yang bisa aku bantu. Selebihnya, kau harus mencarinya sendiri. Jangan bilang aku jahat atau tidak mau membantumu. Harusnya aku bahkan tidak menelepon mu. "
            "Baiklah, aku mengerti. Tapi ijinkan aku tahu lebih banyak Jess."  Aku mohon. Kau tidak tahu betapa aku merindukannya. "Tidak, Andrew. Itu sudah lebih dari cukup."
©©©  
            "Pak Andrew. Tamu anda sudah datang". "Baik. Suruh saja dia masuk." Pegawaiku, Sesha memberitahuku kalau Ny. Francesa sudah datang. Ia salah satu klienku  yang sangat sulit di temui. Sejak kerja sama kami satu tahun lalu, baru kali ini ia bisa datang dan membicarakan bisnis kami. Aku ingin sekali melihat seperti apa wajah wanita ini. Sepertinya ia wanita yang cantik. Suaranya saat di telepon sangat menarik. Tapi sepertinya dia sudah menikah dan memiliki putra atau putri. Menjadi ibu adalah pekerjaan yang sulit.  
            "Selamat siang." Wajah itu...
 
      "Silakan duduk Ny. Francesa."
            "Sebetulnya aku belum menikah," Paru paruku seakan mengembang. Membuat   dadaku sesak. "Baiklah, jadi aku harus memanggilmu apa?"

   Suddenly my hearts got beat 
            "Susan."
            Hei Jess, aku telah menemukannya. Dia disini. Saat ini, bersamaku.
Tuhan, terima kasih.

                                                                        THE END