Cerpen
Rinai
Oleh:
Z. Okta
15 Juli 2006
Bel usai pelajaran sudah berakhir dua jam
yang lalu. Seluruh kelas mulai beranjak sepi. "Liz, mau pulang bareng?" ah, Soni. "Aku sedang menunggu teman.
Aku mau mengerjakan tugas Pak Darmo bersama dia".
Soni tersenyum. "Baiklah, Liz". Soni tersenyum lalu pergi.
Kini seisi kelas sudah sepi. Tapi inilah yang Liz butuhkan. Kesendirian. Lalu ia akan menghirup panjang udara sepi itu, berusaha menyatu dengan apapun yang ada di hadapannya. Ia
bisa merasakan pasir pasir yang kesepian sama sepertinya, dan angin tipis yang
menyapa di kejauhan.
Perasaan yang
disampaikan segala yang disimpan alam membuatnya mengerti. Hingga ia akhirnya
merasakan butir butir halus air mata mengalir di pipinya. Semakin lama,
gelombang itu semakin besar. Tak lagi bisa ia sembunyikan. Hanya dalam
kesunyian inilah, ia bisa dengan jujur mengungkapkan dirinya yang kalah.
©©©
Aku melihatmu pulang paling terakhir, Liz.
Dan aku melihat matamu merah. Apa kau menangis lagi? Apa kau tidak percaya lagi
padaku sebagai teman untuk berbagi?
Liz
bimbang. Entah harus membalas apa pesan Azam barusan.
Maaf Zam. Aku hanya sedang butuh
sendiri. Dengan penuh hati
hati, Liz pun membalas nya. Baiklah, Liz.
Kau tahu harus mencariku kemana bukan?
Ya, terima kasih.
©©©
17 Juli 2006
Semua
mata yang dilihatnya sebagai teman tidak lagi menunjukkan aroma persahabatan. Dalam
sekejap, mereka telah berubah menjadi duri tajam yang menusuk. "Dia payah. Waktu Kak Rosa yang memegang management
nya, ekstrakulikuler kita tidak pernah kalah".
"Lagipula kalau bukan dekat dengan Kak Lukman, dia
tidak akan menjadi pengurus ekstrakulikuler kita. Aku
membencinya".
Liz berusaha meyakinkan diri bahwa semua akan baik baik saja. Ia mendengar kalimat itu, tapi ia tidak akan mempedulikannya. Dan kekalahan adalah hal yang biasa. Tapi, demi melihat wajah wajah yang kemudian seakan menyerangnya dengan tombak tombak es, Ia pun segera pergi. Menjauh. Lagi.
Liz berusaha meyakinkan diri bahwa semua akan baik baik saja. Ia mendengar kalimat itu, tapi ia tidak akan mempedulikannya. Dan kekalahan adalah hal yang biasa. Tapi, demi melihat wajah wajah yang kemudian seakan menyerangnya dengan tombak tombak es, Ia pun segera pergi. Menjauh. Lagi.
"Aduh".. Liz menengadah. Mencoba melihat siapa orang yang tidak sengaja ia tabrak. "Maaf, aku sedang terburu buru".
Tapi ia segera berlari. Menjauh lagi.
Entah untuk berapa lama. "Liz !!" Liz tidak mendengarnya, tepatnya tidak mau
mendengarnya.
"Dia kenapa Zam? Sikap nya berubah". Azam mengangkat bahu. "Aku, tidak tahu".
©©©
15 Agustus 2006
"Liz, aku mau kau
saja yang membuat jadwal kegiatan tujuh belasan kita nanti". "Baik".
"Dan, Ajeng yang akan memperhitungkan semua biaya kita
dari yang terkecil sampai yang terbesar. Proposal nya akan segera ku buat dalam
2 hari. Semakin cepat data yang ku dapat, semakin cepat proposal ini ku ajukan
kepada kepala sekolah. Pak Yudhi sudah menanyakannya pada Bagian Kurikulum
sekolah kita kemarin". "Zam, biar aku
saja yang membuat jadwal. Sepertinya Liz sedang tidak konsentrasi sejak tadi". Sahnaz memotong. Azam menatapnya datar. Khas nya.
"Apa benar? Tapi
aku percaya dia selalu bisa diandalkan, Naz". Liz murung. Lalu ia mengangkat ponselnya. Sebuah
telepon. "Oh iya baik. Aku pulang sekarang". Liz menatap semua temannya yang ada di ruangan. Namun ia memilih
menghindar dari tatapan Azam. Ia mencoba bicara sambil
tersenyum, "Iya
maaf aku sedang memikirkan adikku. Ibuku bilang ia terluka karena terjatuh saat
pulang sekolah. Aku akan segera pulang untuk melihatnya. Setelah tahu dia baik
baik saja, aku pasti sudah akan bisa berpikir dengan baik".
Azam hanya mengangguk saat Liz pamit padanya.
Ia bisa membohongi semua orang di dalam ruangan itu, kecuali Azam.
©©©
Liz.
Katakan padaku sebenarnya ada apa? Kau anak satu satunya. Kau
tau kau tidak mungkin membohongiku. Apa kau bermaksud menghindariku ?
Aku bukan ingin menghindarimu,
Zam. Hanya saja, aku sangat sulit mengatakannya. Jerit Liz dalam hati.
©©©
20 April 2006
Liz baru ingat,
hari ini ulang tahun Azam, temannya. Lebih tepatnya, teman dekatnya. Orang yang
selalu ia percaya. Pelindungnya, penjaganya, sahabatnya. Kali ini Liz ingin
memberinya ucapan selamat di akun twitter nya pada Azam. Yang di tulisnya
hanyalah kalimat ucapan selamat ulang tahun sederhana, namun ia sungguh sungguh
mendoakannya setiap malam ketika ia terjaga. Kemudian ia melihat tulisan itu.
Ucapan selamat yang paling istimewa dari seseorang, yang ia kenali sebagai masa
lalu Azam. Yang juga teman baiknya. Rana.
"Selamat ulang
tahun, Azam. Semoga kau panjang umur dan sehat selalu. Selalu menjadi orang
yang ku cintai dan mencintaiku. Selamanya".
Mati matian Liz
menjaga agar jantung nya tetap berdetak. Sesaat, ia merasa tak bisa bernafas. "Mungkinkah, Azam masih mencintai Rana?"
©©©
Sejak
saat itu Liz ragu jika bertemu Azam. Selama ini mereka berteman baik. Rana dan
Liz adalah teman di bangku sekolah yang sama saat menengah pertama. Ia tahu
persis saat mereka berdua jatuh cinta, saling berkirim surat. Kadang Rana
membacakannya di depan Liz. Ia tahu, mereka berdua pasangan yang sangat serasi.
Namun setelah lulus, Liz tidak lagi melihat keduanya sedekat saat SMP. Azam pun
jarang terlihat berjalan dengan Rana. Liz kemudian mengerti ketika Rana
mengatakan dalam akunnya bahwa mereka telah berpisah.
Suatu
ketika, Liz merasa semua nya tak lagi sama. Perasaan itu, hadir tanpa diminta.
©©©
21 Oktober 2005
Liz baru datang saat itu. Terburu buru akan masuk
kelas ketika bel sudah mulai berdentang. Ia menabrak seseorang. "Ah maaf". Azam.
"Akhirnya aku menemukanmu". Ia terengah. Berkeringat. Berlari lari di saat jam
masuk kelas dimulai? "Kau mencariku?
Ada apa?" Azam berusaha
menguasai diri. Ia menegakkan diri, dan memulai kalimat yang sepertinya sudah
di hafalnya jauh jauh hari. "Aku Cuma mau
memberimu ini. Selamat ulang tahun". Azam mengeluarkan sebuah kotak musik kecil berwarna
merah muda. Liz hanya terpaku.
"Kalian. Kenapa disini? Masuk kedalam kelas. Bu Susi
sudah bersiap siap".
Guru BP kami, Pak Zul, seperti
biasa akan memeriksa seluruh sekolah apakah ada yang terlambat atau tidak.
"Ayo
cepat masuk. Simpan dalam tasmu, nanti ketahuan" Azam menggandeng tangan Liz. Berlari. Hari itu, Liz merasa bahagia. Dia
yang pertama mengucapkannya.
©©©
13 Juli 2006
Hari ini adalah hari penentuan. Seluruh sekolah se
jakarta timur bertemu. Hanya yang terbaik tentunya. Itu pula yang diharapkan
Kepala sekolah saat melepas rombongan Liz. Dua tahun berturut turut, sekolah
Liz selalu mendapat juara dalam perlombaan ini. Liz gugup.
Kemudian
Liz melihatnya. Gadis yang seumuran dengannya. Dengan seragam royal
blue nya. "Rana,"
Kabar
baiknya, mereka saling melepas rindu. Kabar buruknya, mereka akan saling
mengalahkan.
©©©
"Sepertinya kami akan berbaikan kembali, Liz". "Maksudmu?"
"Aku dan Azam. Aku masih menyayanginya. Dan
sepertinya ia juga sama". "Oh" hanya kata itu yang bisa
keluar dari mulutnya.
"Nah
Liz. Lebih baik kita kembali ke ruangan. Waktu istirahat sudah habis.
Selanjutnya, aku akan melawan sekolahmu ya?" Liz
mengangguk. Jantungnya berdegup begitu cepat seakan ada badai dalam hatinya.
©©©
"Kelebihan
alat yang kami ciptakan ini adalah alat ini kami desain sesederhana mungkin
agar bisa digunakan dimana saja, kapan saja, oleh siapa saja. Pemutih yang
disimpan dalam botol ini akan menyerap cahaya matahari dalam jumlah banyak saat
siang hari. Sehingga saat malam hari, kita seakan menggunakan lampu pijar yang
besarnya hingga 500 volt. Sudah jelas kita akan menghemat biaya listrik dengan
cara ini. Terutama bagi masyarakat yang ada di pinggir kota, yang atap rumahnya
masih menggunakan seng"
Liz dan timnya mendapat nilai 70
dari 100 nilai yang di harapkan. Sesi selanjutnya adalah tanya jawab. Siswa
dari sekolah dengan seragam royal blue itu menjadi penanya pertama. "Sepertinya kami sudah pernah
melihat alat yang sama dengan cara kerja yang tidak jauh berbeda dan hasil yang
jauh lebih baik. Apakah kalian mengambil dari alat yang sudah pernah diciptakan
orang lain?" "Tentu saja tidak. Ini adalah
alat yang murni berasal dari pemikiran kami.² "Tapi, bagaimana kalian
menjelaskan tentang artikel ini?" cecar
mereka.
Ia menunjukkan pada tim Liz sebuah
artikel yang di dalamnya menjelaskan tentang alat yang sangat mirip dengan yang
Liz buat. Liz membaca baik baik artikel itu. Mereka terancam di diskualifikasi
karena melakukan plagiat. Juga kehabisan waktu Tanya jawab. "Maaf sebelumnya, tapi saya
sebagai ketua tim ini bisa menjamin bahwa tim kami tidak sama sekali melakukan
plagiat atau mencontek dari manapun. Sehingga kami berani membawa alat ini ke
perlombaan ini."
Lagi, Azam membela.
Akhirnya tim Liz tidak di diskualifikasi,
hanya saja nilainya dikurangi 10. Mereka menjadi termasuk ke dalam 5 terbawah. "Tenang, sekalipun kita
kalah, aku tetap percaya kalian telah melakukan yang terbaik."
©©©
Nilai dan peringkat pun diumumkan. Tapi, "kita
bahkan tidak mendapat peringkat ke tiga." "Sudahlah. Ayo kita bersiap.
Kita akan ciptakan lagi penemuan yang baru dan lebih baik dari ini, dan dari
mereka semua". Liz
tersenyum. Hampa. Baginya, kepercayaan kepala sekolah adalah segala nya, dan
sekarang ia kalah. Ia tidak bisa memberikan piala di tahun ini sejak dua tahun
kejayaan sekolah mereka.
"Perlombaan
Karya Ilmiah Remaja tahun ini diraih oleh SMA Negeri 01 dengan alat pengubah
minyak jelantah menjadi bahan bakar diesel." Rana memenangkannya. Sekolah berseragam royal blue itu.
©©©
"Hai
Azam. Lihat. Sesuai janjiku, aku
berhasil memenangkan piala ini". Rana
menghampiri Azam yang sedang bersiap pulang. Keduanya bicara dengan rona malu
malu. Liz hanya melihatnya dari kejauhan. Tapi sudah cukup membuatnya pecah
berkeping keping. "Ayo cepat. Lebih
baik kita segera pulang. Sebentar lagi hujan". "Tunggu Azam
dulu, Liz. Azam ayo cepat. Sebentar lagi hujan".
©©©
15
Juli 2014
Hai, selamat bertemu lagi. Aku sudah lama menghindarimu..
Sungguh tak mudah bagiku. Rasanya tak ingin bernafas lagi,
tegak berdiri di depan mu kini .Melawan cinta yang ada di hati
pergilah,
menghilang sajalah lagi.
Bye
Selamat berpisah lagi, meski masih ingin memandangimu lagi.
Tapi lebih baik kau tak disini.
Berkali kali kau berkata, tak bisa.
Berkali kali ku tlah berjanji menyerah.
pergilah, menghilang sajalah lagi.
(Maudy Ayunda, Tahu Diri)
©©©
20 April 2014
Masih banyak tugas yang ia harus selesaikan. Salah
satunya mencari tema yang sesuai dengan project yang sedang di kerjakannya.
Setelah makan siang, ia harus sudah mendapatkan ide untuk ia presentasikan. Ia
akan mencarinya di internet. Isi internet yang bermacam macam, membuat nya bisa
mendapatkan ide yang bagus seperti project sebelumnya.
"Liz. Ada yang mau bertemu". "Suruh masuk,
San".
Tapi seingatnya, tak ada jadwal
bertemu siapapun hari ini.
"Hai Liz". suara itu
menyapa.
Liz hendak menjawab sapaan itu
ketika orang itu masuk dalam ruangannya. Tapi urung. "Astaga, Azam". "Kenapa? Kau
hampir tidak mengenaliku lagi ya?" Liz menggeleng.
Ia tidak tahu bagaimana caranya Azam bisa menemukannya sampai kesini, ke
kantornya. Ia sudah begitu jauh dari dunia nya dulu.
"Aku sengaja ingin mengajak mu keluar, makan siang
bersama". Liz melongo.
Orang ini pasti sudah gila, berani beraninya masuk ke kandang macan dan membangunkan
macan yang sedang tidur, katanya dalam hati.
©©©
"Saya mengangkat tema hujan untuk kali ini, Pak. Saya
terinspirasi dari sebuah lagu yang selalu menemani saya saat sedang galau. Saya
pasti mendengarkan lagu ini. Lagu yang menceritakan tentang seorang gadis yang
selalu menyukai hujan karena hujan pernah membuatnya merasa bahagia. Ia bertemu
dengan orang yang di cintainya saat hujan menutupi pandangan mata dengan air
yang mengalir deras. Tapi hujan yang saya akan sajikan disini adalah rinai
hujan. hujan yang tidak terlalu deras, rinai yang sejuk, yang membuat langit
sore terlihat lebih indah. Rinai yang membuat kita berharap semoga langit akan segera
cerah".
"Liz, saya melihat judul yang sama dengan tema ini di
tema puisi pilihan majalah kita bulan lalu dan puisi kamu jadi pemenangnya. Kalau
saya perhatikan, ini tentang seseorang ya?" Liz mendadak bungkam.
Seisi
ruangan menjadi ramai. "pasti yang
kemarin datang kesini." Sandy ikut
meledeknya. Liz berusaha mengendalikan diri, lalu berbicara lagi pada rapatnya.
"Rinai adalah harapan
yang selalu saya panjatkan. Bahwa sederas apapun hujan yang turun, pasti
kemudian menyisakan rinai yang halus. Yang membuat kita berani melangkahkan
kaki lagi meskipun jalanan dipenuhi genangan air. Yang membuat kita berani
berharap bahwa setelah ini hujan tak akan turun lagi. Dan esok akan lebih
cerah". Kepala Redaksi
sepertinya menyukai tema yang Liz ajukan. Project pun di laksanakan. Lagi, Liz
menjadi Head Project kali ini.
©©©
"Aku tak pernah melihatmu lagi setelah hari itu, Liz.
Kau hilang ditelan bumi". Liz tersenyum.
Ia tak punya alasan apapun. Sejak lulus sekolah, ia memang memilih bersembunyi. "Jadi, kau ada apa mencariku Zam?"
"Kau,
sejak kapan jadi begitu to the point Liz?"
Lagi,
Liz tertawa. "Everybody
changes, Zam." "Iya, aku bisa melihatnya. Kau
sudah lebih baik sekarang. Kau jauh lebih dewasa dan tahu apa yang kau
inginkan."
Dulu, selalu kau yang menjadi
pembela ku. Selalu kau yang ada di sampingku ketika aku merasa kalah. Kemudian
menguatkanku. Liz hanya mengatakannya dalam hati. "Aku belajar darimu, Zam."
Kali ini Azam yang tertawa. "Hari ini adalah hari ulang tahunku, Liz. Kau bahkan
tidak mengucapkan selamat untukku." "Benarkah ?
Maaf, selamat ulang tahun ya." "Datanglah." Azam mengeluarkan sebuah undangan kecil berwarna
merah marun yang diikat pita. "Kalau kau tidak
datang, aku tidak akan memaafkanmu." Pipi Liz menjadi merah muda. Merona karena malu. Ia pasti akan datang. Tentu saja, jawabnya dalam hati.
©©©
21 Oktober 2014
Hari ini adalah
hari yang bersejarah bagi Liz. Rana akan menikah. Dengan pria yang ia cintai
tentu saja. Ia merasa amat gugup. Ia memang terlalu mencemaskan banyak hal. Hal
lain
yang membuatnya cemas adalah ia akan menjadi saksi pernikahan Rana. Tentu saja
bukan hal mudah. Ia gugup saat membayangkan pengantin prianya.
"Kau
pasti sedang gugup." Liz
tidak menjawab. Tentu saja. Bukankah terlihat dari tangannya yang gemetar dan
wajahnya yang pucat? Azam menggenggam tangan Liz. "Kau ini, acara istimewa
begini saja membuatmu cemas. Harusnya kau ikut bahagia. Sahabat kita akan
menyusul kita hari ini. Kau ini. Harusnya berdoa yang baik baik."
Liz tidak bisa bicara lagi, ia hanya
menatap ke kedua mata itu. Seketika itu pula ia merasa kesejukan. "Iya. Kau benar. Aku akan
bersiap."
Seperti rinai hujan, aku
selalu merasakan kesejukan saat bersamamu.
Tak lagi ada ragu ketika ku
langkahkan kaki saat aku menggenggam tanganmu
Selama ini aku berlari,
menghindar
Tapi kau kemudian kembali
menemukanku
THE
END