Kamis, 28 Mei 2015

Filsafat Pancasila (2): Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara (3)

Oleh      : Masitoh N. Rohma (071112023) 

Ideologi menjadi bahasan pokok tatkala membicarakan Pancasila. Dipandang secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “idea” yang berarti pemikiran, gagasan, konsep keyakinan, dan “logos” yang berarti pengetahuan. Secara sederhana ideologi dimaknai sebagai ilmu pengetahuan tentang gagasan, konsep keyakinan atau pemikiran. Alfian menerjemahkan ideologi sebagai akumulasi nilai-nilai yang dianggap baik dan benar tentang tujuan yang ingin dicapai masyarakat, sekaligus menjadi pedoman dan cita-cita pengatur perilaku masyarakat dalam berbagai kehidupan, karenanya ideologi berfungsi menjadi tujuan dan cita-cita bersama masyarakat, serta menjadi pedoman dan tolok ukur perilaku dalam hubungannya dengan kebijakan negara serta sebagai pemersatu masyarakat karena menjadi prosedur penyelesaian konflik yang muncul dalam masyarakat tersebut. (Alfian, Ideologi, Idealisme dan Integrasi Nasional, Prisma, 8-8-1976).
Nilai dasar Pancasila membutuhkan definisi dan analisis yang terus dikembangkan sesuai perkembangan zaman karena perbedaan situasi yang sangat berbeda dari masa lalu. Pancasila bersifat terbuka yang berarti memberikan kesempatan pada setiap generasi Indonesia untuk menginterpretasikan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila terhadap nilai-nilai kehidupan masa kini. Ideologi Pancasila memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas yang membuka dirinya untuk diinterpretasikan kembali sesuai dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat. Pancasila adalah ideologi yang fleksibel, ia terbuka dengan perubahan jaman dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut tanpa kehilangan identitas/jati dirinya.
Ideologi Pancasila termasuk ideologi yang terbuka bagi kelahiran interpretasi baru. Keterbatasan akan pemikiran dan analisis definisi ideologi Pancasila oleh para pencetusnya membuat segala macam definisi dan analisis mereka tentang Pancasila tidak bisa bersifat final yang dapat dipergunakan sepanjang masa. Masyarakat yang terus-menerus berkembang dan situasi sosial, ekonomi, dan politik yang berubah membuat tafsiran awal mengenai Pancasila tidak cocok lagi apabila diterapkan pada masa yang berlainan (masa kini). Interpretasi dan ide baru dari generasi sekarang dan mendatang menjadi sesuatu yang penting dalam memperbaiki serta menyempurnakan pemikiran tentang Pancasila yang sesuai dengan perkembangan bangsa Indonesia.
Ditetapkannya Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, mengandung tanggung jawab sekaligus penyerahan jalannya kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat kepada Pancasila. Ideologi Pancasila memberikan pedoman dan tuntunan bagaimana kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dijalankan. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sudah seharusnya berorientasikan pada sebuah ideologi. Hal ini disebabkan setiap proses interaksi yang terjadi di lingkungan plural dan heterogen bangsa Indonesia membutuhkan sebuah pedoman dan ‘penunjuk arah’ yang disepakati bersama untuk memberikan arahan agar setiap konflik yang berdasarkan pluralitas dan heterogenitas dapat diminimalisir. Nilai-nilai dalam ideologi Pancasila diharapkan mampu mengkonstruksikan struktur sosial yang memiliki visi kebangsaan yang seragam meski berakar dari heterogenitas latar belakang dan kepentingan.
Sejatinya, terdapat korelasi logis antara ideologi Pancasila dengan realitas sosial yang berkembang di masyarakat, karena ideologi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri lepas dari realitas hidup masyarakat. Ideologi merupakan manifestasi dari keinginan dan cita-cita luhur masyarakat. Artinya, perumusan ideologi (dalam hal ini Pancasila) seharusnya dimaknai dari adanya keinginan dan cita-cita untuk memanifestasikan suatu struktur dan konstruksi masyarakat yang diidealisasikan, sesuai dengan kondisinya. Antara ideologi dan realitas kehidupan masyarakat terjadi hubungan dialektis, sehingga berlangsung hubungan timbal balik yang terwujud dalam interaksi, yang di satu pihak mendorong idelogi semakin realistis dan di sisi lain mendorong masyarakat semakin mendekati bentuk yang ideal. Ideologi seharusnya dipahami bukan hanya sebagai pengetahuan teoritis semata, namun merupakan sesuatu yang dihayati menjadi suatu keyakinan. Sebagai sebuah ideologi, Pancasila merupakan seperangkat nilai yang tidak hanya tersusun atas idealisasi gambaran masa depan bangsa Indonesia, tetapi juga memuat perangkat nilai yang berakar pada realitas empirik. Dialektika nilai-nilai Pancasila dengan realitas merupakan konsekuensi logis dari proses pelembagaan nilai-nilai tersebut ke dalam struktur sosial masyarakat. Hubungan ini memungkinkan nilai-nilai Pancasila selalu sesuai dengan kondisi maupun perkembangan jaman melalui berbagai ide dan interpretasi ulang terhadap Pancasila.
Sejak kemunculannya di era reformasi, Pancasila terus menjadi sasaran kritik. Banyak pihak-pihak yang mulai memperdebatkan keabsahan Pancasila sebagai ideologi negara. Pancasila adalah ideologi sah bangsa ini, sejak diformulasikan pada awal terbentuknya republik ini, kehadirannya harusnya dimaknai sebagai keinginan dan cita-cita luhur the founding fathers untuk memperbaiki, menata, dan menyatukan kondisi bangsa Indonesia yang beragam. Ideologi ini harus diakui sebagai buah pemikiran dari para filsuf dan pemikir politik dalam rangka mencari solusi atas segala permasalahan berbangsa dan bernegara. Karena merupakan buah pemikiran, ideologi ini terus menerus mengalami perbaikan dan penyempurnaan sesuai dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
 Sebagai sebuah ideologi, Pancasila yang termaktub dalam UUD 1945 merupakan produk sejarah bangsa yang sifatnya sementara. Kesementaraan UUD 1945 tidak berimplikasi pada kesementaraan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945, terutama ketika ia diletakkan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab antara pembukaan dengan UUD 1945, banyak pakar menyebut sebagai sesuatu yang terpisah. Artinya, bolehlah UUD itu bersifat sementara, tetapi semangat perubahan terhadap UUD tetap harus berpedoman pada nilai-nilai universal Pancasila.
Pancasila tidak pernah duduk dengan tenang karena guncangan bukan saja timbul dari kesirikan pihak-pihak luar. Tetapi ulah beberapa pihak penguasa yang sesekali ingin menyalahgunakan ideologi ini untuk menyerang kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan mereka menumbuhkan sikap pesimis bangsa Indonesia. Penyalahgunaan semacam ini sangat berbahaya apabila ujung-ujungnya dijadikan sebagai alasan untuk mengganti ideologi. Sebagaimana yang telah ditetapkan oleh the founding fathers Indonesia bahwa Pancasila adalah satu-satunya ideologi yang boleh digunakan bangsa Indonesia, Pancasila hendaknya memiliki tafsiran yang terbuka dan luas agar tidak menimbulkan salah tafsir. Dengan bekal keilmuan dan berpijak pada kebenaran serta fakta yang terjadi di dalam masyarakat, bangsa Indonesia diharapkan mampu mengkritisi ideologi ini dalam rangka pembangunan bangsa untuk menuju Indonesia yang lebih baik.
Kritik-kritik tajam yang dijatuhkan pada Pancasila secara tidak langsung telah membentuk kekuatannya sebagai sebuah ideologi. Nyatanya, Pancasila tetap berdiri kokoh yang menunjukkan bahwa keberadaan memang layak untuk dijadikan dasar negara. Secara fundamental, kekuatan ideologi (Pancasila) dapat diukur dari tiga dimensi, yaitu: 1) dimensi realitas (ideologi bermakna bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya bersumber dari nilai-nilai riil yang berkembang dalam masyarakat); 2) dimensi idealitas (suatu ideologi harus mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, karena dengan adanya cita-cita yang terkandung dalam ideologi, maka suatu bangsa akan tahu kemana arah kehidupan mereka yang selanjutnya dibawa); dan 3) dimensi fleksibilitas (sebuah ideologi harus luwes dan bisa merangsang pengembangan pemikiran/interpretasi baru yang relevan tentang dirinya, tanpa kehilangan nilai-nilai dasarnya). Berdasarkan uraian ketiga dimensi di atas, maka Pancasila jelas memenuhi standar realitas, idealitas, dan fleksibilitas, terutama karena dinamika internal yang terkandung dalam sifatnya sebagai ideologi terbuka. Dengan demikian, secara ideal-konseptual Pancasila adalah ideologi yang kuat, tangguh, dan bermutu tinggi. Ditambah lagi dengan kualitas nilai dasar dalam ideologi ini yang bermakna abstrak dan universal yang tidak terbatas pada ruang dan waktu tertentu atau bersifat abadi. Kualitas nilai dasar ini memungkinkan bagi terbentuknya kualitas peradaban bangsa yang berlandaskan pada konstruksi masyarakat yang ber-Ketuhanan, ber-Kemanusiaan, ber-Satu, ber-Kerakyatan, dan ber-Keadilan. Kelima sila tersebut merupakan paradigma bagi terbentuknya masyarakat berperadaban Pancasilais.
Pancasila telah mengalami gejolak yang beragam dari masa ke masa. Soekarno di dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 merumuskan lima nilai dasar Pancasila. Kelimanya tersusun di dalam sebuah kesatuan yang berasal dari jati diri pribadi bangsa Indonesia. Pidato inilah yang akhirnya disebut sebagai “Lahirnya Pancasila”.  Pada awal kemunculannya, Pancasila sudah banyak menuai perdebatan. Sebagian kelompok menghendaki Islam sebagai dasar negara, ada yang mencoba menegakkan demokrasi konstitusional yang sekuler, dan ada yang menganjurkan negara integralistik. Ditetapkannya Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 membuktikan bahwa perdebatan tersebut dimenangkan oleh golongan yang menginginkan agama Islam sebagai dasar negara. Tanggal 18 Agustus 1945, rumusan Piagam Jakarta yang mencantumkan kalimat “…dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus karena ditakutkan penduduk Indonesia timur yang mayoritas kristiani akan merasa tersinggung dan tidak mau bergabung dalam NKRI jika kalimat ini tetap dicantumkan. Tindakan ini menjadi suatu keputusan yang tepat mengingat bangsa Indonesia tersusun dari berbagai jenis manusia yang beragam. Dengan melihat perkembangan perumusan Pancasila sejak tanggal 1 Juni hingga 18 Agustus 1945, dapat diketahui bahwa Pancasila mengalami perkembangan fungsi. Di era Orde Lama (1945-1965), wajah perpolitikan tanah air didominasi oleh perdebatan ideologi antara kelompok Islam dengan Pancasila. Pertikaian ini berlanjut pada masa Orde Baru hingga Reformasi. Hal ini dilatarbelakangi oleh kekecewaan umat Islam atas penghapusan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945, apalagi ketika penguasa menggunakan Pancasila sebagai alat untuk menekan kalangan Islam saat itu. Di tahun 1950-an, Pancasila banyak dimanfaatkan sebagai senjata ideologis untuk mendelegitimasi tuntutan Islam bagi pengakuan negara atas Islam. Kekuasaan Orde Lama berakhir di era 1960-an akibat timbulnya G 30 S/PKI yang mencoba menggulingkan kekuasaan pemerintah. Masa Orde Baru (1965-1985) digunakan sebagai waktu yang tepat untuk penanaman doktrin kepada masyarakat mengenai setiap bentuk kudeta atas pemerintahan yang sah dengan mencoba mengganti ideologi Pancasila adalah hal yang tidak bisa dibenarkan atau tidak bisa diampuni dan harus ditumpas hingga ke akar-akarnya. Mereka yang dicurigai sebagai antek-antek komunis dihabisi tanpa terkecuali. Saat itu, Orba mencoba menanamkan pengaruhnya dengan cara memfokuskan Pancasila dan meletakkannya sebagai pilar ideologi rezim. Mengingat sejarah perjalan Pancasila yang berliku, Pancasila akan terus mengalami berbagai terpaan dalam mempertahankan eksistensi ideologi mulia di dalamnya.
Negara memiliki tujuan seperti yang telah dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 yang dapat diwujudkan melalui pengamalan Pancasila dalam kehidupan nyata. Aktualisasi secara maksimal akan nilai-nilai Pancasila menjadi hal yang tidak mungkin dihindari apabila bangsa Indonesia menginginkan kemajuan dan kehidupan yang ideal. Aktualisasi Pancasila meliputi pendalaman karakter sebagai bangsa Indonesia secara utuh dengan mengisi kemerdekaan dengan hal-hal berguna dan tidak melakukan ‘penjajahan’ terhadap sesama bangsa Indonesia. Hal ini menjadi sesuatu yang rentan seiring arus globalisasi yang tidak bisa dihindari dan pengaruh sistem ekonomi kapitalis yang mulai menginfeksi. Pancasila harus dapat memberikan kenyamanan pada setiap warga negara Indonesia untuk menjalankan kehidupannya dan tafsiran akan Pancasila tidak boleh membatasi gerak dan pemikiran bangsa Indonesia dalam berkontribusi aktif mengembangkan bangsa.
Jika bangsa Indonesia benar-benar menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam setiap sendi kehidupan dan mengaktualisasikannya dalam setiap tindakan, bukan memahami Pancasila hanya sebagai sebuah simbol maka bangsa Indonesia pasti mampu mengatasi segala guncangan yang menerpa kehidupan berbangsa dan bernegara baik yang dating dari dalam maupn luar negeri. Hal inilah yang telah dipikirkan dan diharapkan para pencetus Pancasila supaya kelak Pancasila dapat membentuk bangsa Indonesia yang berkarakter dan unggul di segala bidang.

Sumber bacaan:
  1. Salim, Arshal, GP, at al., 2000, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, IAIN Jakarta Press, Jakarta.
  2. Suprijadi, Bambang, Drs., Msi., Ed., 2004,  Pendidikan Pancasila Untuk Mahasiswa, LP3JATIM – Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar