Oleh : Masitoh N. Rohma (071112023)
Ideologi menjadi bahasan pokok tatkala
membicarakan Pancasila. Dipandang secara etimologis, ideologi berasal
dari bahasa Yunani, yaitu “idea” yang berarti pemikiran, gagasan, konsep keyakinan, dan “logos”
yang berarti pengetahuan. Secara sederhana ideologi dimaknai sebagai
ilmu pengetahuan tentang gagasan, konsep keyakinan atau pemikiran.
Alfian menerjemahkan ideologi sebagai akumulasi nilai-nilai yang
dianggap baik dan benar tentang tujuan yang ingin dicapai masyarakat,
sekaligus menjadi pedoman dan cita-cita pengatur perilaku masyarakat
dalam berbagai kehidupan, karenanya ideologi berfungsi menjadi tujuan
dan cita-cita bersama masyarakat, serta menjadi pedoman dan tolok ukur
perilaku dalam hubungannya dengan kebijakan negara serta sebagai
pemersatu masyarakat karena menjadi prosedur penyelesaian konflik yang
muncul dalam masyarakat tersebut. (Alfian, Ideologi, Idealisme dan
Integrasi Nasional, Prisma, 8-8-1976).
Nilai dasar Pancasila membutuhkan
definisi dan analisis yang terus dikembangkan sesuai perkembangan zaman
karena perbedaan situasi yang sangat berbeda dari masa lalu. Pancasila
bersifat terbuka yang berarti memberikan kesempatan pada setiap generasi
Indonesia untuk menginterpretasikan nilai-nilai yang terkandung di
dalam Pancasila terhadap nilai-nilai kehidupan masa kini. Ideologi
Pancasila memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas yang membuka
dirinya untuk diinterpretasikan kembali sesuai dengan kemajuan dan
perkembangan masyarakat. Pancasila adalah ideologi yang fleksibel, ia
terbuka dengan perubahan jaman dan mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan tersebut tanpa kehilangan identitas/jati dirinya.
Ideologi Pancasila termasuk ideologi
yang terbuka bagi kelahiran interpretasi baru. Keterbatasan akan
pemikiran dan analisis definisi ideologi Pancasila oleh para pencetusnya
membuat segala macam definisi dan analisis mereka tentang Pancasila
tidak bisa bersifat final yang dapat dipergunakan sepanjang masa.
Masyarakat yang terus-menerus berkembang dan situasi sosial, ekonomi,
dan politik yang berubah membuat tafsiran awal mengenai Pancasila tidak
cocok lagi apabila diterapkan pada masa yang berlainan (masa kini).
Interpretasi dan ide baru dari generasi sekarang dan mendatang menjadi
sesuatu yang penting dalam memperbaiki serta menyempurnakan pemikiran
tentang Pancasila yang sesuai dengan perkembangan bangsa Indonesia.
Ditetapkannya Pancasila sebagai ideologi
bangsa Indonesia, mengandung tanggung jawab sekaligus penyerahan
jalannya kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat kepada
Pancasila. Ideologi Pancasila memberikan pedoman dan tuntunan bagaimana
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dijalankan. Kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sudah seharusnya berorientasikan
pada sebuah ideologi. Hal ini disebabkan setiap proses interaksi yang
terjadi di lingkungan plural dan heterogen bangsa Indonesia membutuhkan
sebuah pedoman dan ‘penunjuk arah’ yang disepakati bersama untuk
memberikan arahan agar setiap konflik yang berdasarkan pluralitas dan
heterogenitas dapat diminimalisir. Nilai-nilai dalam ideologi Pancasila
diharapkan mampu mengkonstruksikan struktur sosial yang memiliki visi
kebangsaan yang seragam meski berakar dari heterogenitas latar belakang
dan kepentingan.
Sejatinya, terdapat korelasi logis
antara ideologi Pancasila dengan realitas sosial yang berkembang di
masyarakat, karena ideologi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri lepas
dari realitas hidup masyarakat. Ideologi merupakan manifestasi dari
keinginan dan cita-cita luhur masyarakat. Artinya, perumusan ideologi
(dalam hal ini Pancasila) seharusnya dimaknai dari adanya keinginan dan
cita-cita untuk memanifestasikan suatu struktur dan konstruksi
masyarakat yang diidealisasikan, sesuai dengan kondisinya. Antara
ideologi dan realitas kehidupan masyarakat terjadi hubungan dialektis,
sehingga berlangsung hubungan timbal balik yang terwujud dalam
interaksi, yang di satu pihak mendorong idelogi semakin realistis dan di
sisi lain mendorong masyarakat semakin mendekati bentuk yang ideal.
Ideologi seharusnya dipahami bukan hanya sebagai pengetahuan teoritis
semata, namun merupakan sesuatu yang dihayati menjadi suatu keyakinan.
Sebagai sebuah ideologi, Pancasila merupakan seperangkat nilai yang
tidak hanya tersusun atas idealisasi gambaran masa depan bangsa
Indonesia, tetapi juga memuat perangkat nilai yang berakar pada realitas
empirik. Dialektika nilai-nilai Pancasila dengan realitas merupakan
konsekuensi logis dari proses pelembagaan nilai-nilai tersebut ke dalam
struktur sosial masyarakat. Hubungan ini memungkinkan nilai-nilai
Pancasila selalu sesuai dengan kondisi maupun perkembangan jaman melalui
berbagai ide dan interpretasi ulang terhadap Pancasila.
Sejak kemunculannya di era reformasi,
Pancasila terus menjadi sasaran kritik. Banyak pihak-pihak yang mulai
memperdebatkan keabsahan Pancasila sebagai ideologi negara. Pancasila
adalah ideologi sah bangsa ini, sejak diformulasikan pada awal
terbentuknya republik ini, kehadirannya harusnya dimaknai sebagai
keinginan dan cita-cita luhur the founding fathers untuk
memperbaiki, menata, dan menyatukan kondisi bangsa Indonesia yang
beragam. Ideologi ini harus diakui sebagai buah pemikiran dari para
filsuf dan pemikir politik dalam rangka mencari solusi atas segala
permasalahan berbangsa dan bernegara. Karena merupakan buah pemikiran,
ideologi ini terus menerus mengalami perbaikan dan penyempurnaan sesuai
dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
Sebagai sebuah ideologi, Pancasila yang
termaktub dalam UUD 1945 merupakan produk sejarah bangsa yang sifatnya
sementara. Kesementaraan UUD 1945 tidak berimplikasi pada kesementaraan
Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945, terutama ketika ia diletakkan dalam
konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab antara pembukaan dengan
UUD 1945, banyak pakar menyebut sebagai sesuatu yang terpisah. Artinya,
bolehlah UUD itu bersifat sementara, tetapi semangat perubahan terhadap
UUD tetap harus berpedoman pada nilai-nilai universal Pancasila.
Pancasila tidak pernah duduk dengan
tenang karena guncangan bukan saja timbul dari kesirikan pihak-pihak
luar. Tetapi ulah beberapa pihak penguasa yang sesekali ingin
menyalahgunakan ideologi ini untuk menyerang kepentingan-kepentingan
yang bertentangan dengan mereka menumbuhkan sikap pesimis bangsa
Indonesia. Penyalahgunaan semacam ini sangat berbahaya apabila
ujung-ujungnya dijadikan sebagai alasan untuk mengganti ideologi.
Sebagaimana yang telah ditetapkan oleh the founding fathers
Indonesia bahwa Pancasila adalah satu-satunya ideologi yang boleh
digunakan bangsa Indonesia, Pancasila hendaknya memiliki tafsiran yang
terbuka dan luas agar tidak menimbulkan salah tafsir. Dengan bekal
keilmuan dan berpijak pada kebenaran serta fakta yang terjadi di dalam
masyarakat, bangsa Indonesia diharapkan mampu mengkritisi ideologi ini
dalam rangka pembangunan bangsa untuk menuju Indonesia yang lebih baik.
Kritik-kritik tajam yang dijatuhkan pada
Pancasila secara tidak langsung telah membentuk kekuatannya sebagai
sebuah ideologi. Nyatanya, Pancasila tetap berdiri kokoh yang
menunjukkan bahwa keberadaan memang layak untuk dijadikan dasar negara.
Secara fundamental, kekuatan ideologi (Pancasila) dapat diukur dari tiga
dimensi, yaitu: 1) dimensi realitas (ideologi bermakna bahwa
nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya bersumber dari nilai-nilai
riil yang berkembang dalam masyarakat); 2) dimensi idealitas (suatu
ideologi harus mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai
bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, karena dengan
adanya cita-cita yang terkandung dalam ideologi, maka suatu bangsa akan
tahu kemana arah kehidupan mereka yang selanjutnya dibawa); dan 3)
dimensi fleksibilitas (sebuah ideologi harus luwes dan bisa merangsang
pengembangan pemikiran/interpretasi baru yang relevan tentang dirinya,
tanpa kehilangan nilai-nilai dasarnya). Berdasarkan uraian ketiga
dimensi di atas, maka Pancasila jelas memenuhi standar realitas,
idealitas, dan fleksibilitas, terutama karena dinamika internal yang
terkandung dalam sifatnya sebagai ideologi terbuka. Dengan demikian,
secara ideal-konseptual Pancasila adalah ideologi yang kuat, tangguh,
dan bermutu tinggi. Ditambah lagi dengan kualitas nilai dasar dalam
ideologi ini yang bermakna abstrak dan universal yang tidak terbatas
pada ruang dan waktu tertentu atau bersifat abadi. Kualitas nilai dasar
ini memungkinkan bagi terbentuknya kualitas peradaban bangsa yang
berlandaskan pada konstruksi masyarakat yang ber-Ketuhanan,
ber-Kemanusiaan, ber-Satu, ber-Kerakyatan, dan ber-Keadilan. Kelima sila
tersebut merupakan paradigma bagi terbentuknya masyarakat berperadaban
Pancasilais.
Pancasila telah mengalami gejolak yang
beragam dari masa ke masa. Soekarno di dalam pidatonya pada tanggal 1
Juni 1945 merumuskan lima nilai dasar Pancasila. Kelimanya tersusun di
dalam sebuah kesatuan yang berasal dari jati diri pribadi bangsa
Indonesia. Pidato inilah yang akhirnya disebut sebagai “Lahirnya
Pancasila”. Pada awal kemunculannya, Pancasila sudah banyak menuai
perdebatan. Sebagian kelompok menghendaki Islam sebagai dasar negara,
ada yang mencoba menegakkan demokrasi konstitusional yang sekuler, dan
ada yang menganjurkan negara integralistik. Ditetapkannya Piagam Jakarta
tanggal 22 Juni 1945 membuktikan bahwa perdebatan tersebut dimenangkan
oleh golongan yang menginginkan agama Islam sebagai dasar negara.
Tanggal 18 Agustus 1945, rumusan Piagam Jakarta yang mencantumkan
kalimat “…dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” dihapus karena ditakutkan penduduk Indonesia timur
yang mayoritas kristiani akan merasa tersinggung dan tidak mau bergabung
dalam NKRI jika kalimat ini tetap dicantumkan. Tindakan ini menjadi
suatu keputusan yang tepat mengingat bangsa Indonesia tersusun dari
berbagai jenis manusia yang beragam. Dengan melihat perkembangan
perumusan Pancasila sejak tanggal 1 Juni hingga 18 Agustus 1945, dapat
diketahui bahwa Pancasila mengalami perkembangan fungsi. Di era Orde
Lama (1945-1965), wajah perpolitikan tanah air didominasi oleh
perdebatan ideologi antara kelompok Islam dengan Pancasila. Pertikaian
ini berlanjut pada masa Orde Baru hingga Reformasi. Hal ini
dilatarbelakangi oleh kekecewaan umat Islam atas penghapusan Piagam
Jakarta dari Pembukaan UUD 1945, apalagi ketika penguasa menggunakan
Pancasila sebagai alat untuk menekan kalangan Islam saat itu. Di tahun
1950-an, Pancasila banyak dimanfaatkan sebagai senjata ideologis untuk
mendelegitimasi tuntutan Islam bagi pengakuan negara atas Islam.
Kekuasaan Orde Lama berakhir di era 1960-an akibat timbulnya G 30 S/PKI
yang mencoba menggulingkan kekuasaan pemerintah. Masa Orde Baru
(1965-1985) digunakan sebagai waktu yang tepat untuk penanaman doktrin
kepada masyarakat mengenai setiap bentuk kudeta atas pemerintahan yang
sah dengan mencoba mengganti ideologi Pancasila adalah hal yang tidak
bisa dibenarkan atau tidak bisa diampuni dan harus ditumpas hingga ke
akar-akarnya. Mereka yang dicurigai sebagai antek-antek komunis dihabisi
tanpa terkecuali. Saat itu, Orba mencoba menanamkan pengaruhnya dengan
cara memfokuskan Pancasila dan meletakkannya sebagai pilar ideologi
rezim. Mengingat sejarah perjalan Pancasila yang berliku, Pancasila akan
terus mengalami berbagai terpaan dalam mempertahankan eksistensi
ideologi mulia di dalamnya.
Negara memiliki tujuan seperti yang
telah dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 yang dapat diwujudkan melalui
pengamalan Pancasila dalam kehidupan nyata. Aktualisasi secara maksimal
akan nilai-nilai Pancasila menjadi hal yang tidak mungkin dihindari
apabila bangsa Indonesia menginginkan kemajuan dan kehidupan yang ideal.
Aktualisasi Pancasila meliputi pendalaman karakter sebagai bangsa
Indonesia secara utuh dengan mengisi kemerdekaan dengan hal-hal berguna
dan tidak melakukan ‘penjajahan’ terhadap sesama bangsa Indonesia. Hal
ini menjadi sesuatu yang rentan seiring arus globalisasi yang tidak bisa
dihindari dan pengaruh sistem ekonomi kapitalis yang mulai menginfeksi.
Pancasila harus dapat memberikan kenyamanan pada setiap warga negara
Indonesia untuk menjalankan kehidupannya dan tafsiran akan Pancasila
tidak boleh membatasi gerak dan pemikiran bangsa Indonesia dalam
berkontribusi aktif mengembangkan bangsa.
Jika bangsa Indonesia benar-benar
menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam setiap sendi kehidupan dan
mengaktualisasikannya dalam setiap tindakan, bukan memahami Pancasila
hanya sebagai sebuah simbol maka bangsa Indonesia pasti mampu mengatasi
segala guncangan yang menerpa kehidupan berbangsa dan bernegara baik
yang dating dari dalam maupn luar negeri. Hal inilah yang telah
dipikirkan dan diharapkan para pencetus Pancasila supaya kelak Pancasila
dapat membentuk bangsa Indonesia yang berkarakter dan unggul di segala
bidang.
Sumber bacaan:
- Salim, Arshal, GP, at al., 2000, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, IAIN Jakarta Press, Jakarta.
- Suprijadi, Bambang, Drs., Msi., Ed., 2004, Pendidikan Pancasila Untuk Mahasiswa, LP3JATIM – Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar